Jonas Gobang

Saturday, September 5, 2009

KAUM MUDA DAN KULTUR KEMATIAN
Sebuah Keprihatinan dan Tawaran Solusi 

Oleh : Jonas Klemens Gregorius Dori Gobang *)
Hormat akan kehidupan adalah perlawanan terhadap kultur kematian.
“WIR HAT DIE JUGEND, IHR HAD DER ZU KOMST” – SIAPA YANG MEMILIKI ORANG MUDA, DIA MEMILIKI HARI DEPAN, demikian ungkapan orang Jerman tentang orang muda.  Selain itu pula masih banyak lagi ungkapan yang sering dilontarkan untuk atau tentang orang muda. Entah itu bernuansa penuh optimisme, seperti “Pemuda Harapan Bangsa”, “Pemuda Tulang Punggung Negara”, Pemuda Pewaris Cita – Cita Luhur Bangsa Dan Negara, atau juga tidak kurang juga ungkapan tentang orang muda yang bernada sinis – pesimistik, seperti “Mau diharapkan apa dari generasi ini ?”
Terlepas dari ungkapan yang bernuansa optimisme dan bernada sinis – pesimistik, seperti di atas, mendiang Romo Mangun berujar, “Pemuda itu jangan mau di-brain  washing, jangan mau dicuci otaknya”. (PIJAR, Majalah Filsafat UGM, Edisi Soempah Pemoeda, 28 Oktober 1997, hal.1, kol V). Perkataan mendiang Romo Mangun di atas sesungguhnya mengisyaratkan adanya ketidakberesan dan ketidakbenaran atas apa yang diterima pemuda selama ini. Pernyataan menarik dari budayawan ini sebenarnya mempunyai basis sejarah, basis kekuatan spiritual – psikologis yang kuat yang terkandung dalam diri setiap orang muda. Sejarah perjuangan bangsa-bangsa, termasuk Indonesia, ditentukan pula oleh perjuangan kaum muda, demikian hal itu dibuktikan oleh kaum muda, karena sesungguhnya dalam diri mereka terkandung suatu kekuatan spiritual – psikologis yang mampu menghadapi berbagai bentuk rintangan dan tantangan.
Meski demikian kita tidak perlu mengelak dari kecemasan – kecemasan yang bisa ditimbulkan oleh kaum muda itu sendiri atau kecemasan – kecemasan yang bisa mempengaruhi kaum muda.
Tulisan ini hendak meretas konflik melalui jalan rekonsiliasi ke dalam dan ke luar. Tulisan ini juga merupakan suatu bentuk keprihatinan yang datang dari orang muda, guna melihat diri (autocritic) sambil mencari solusi atas problem yang dihadapi oleh kaum muda.
Kaum Muda dan Budaya Kematian
Berbicara tentang kaum muda tidak memisahkan kita dengan kecemasan – kecemasan tentang kaum muda itu sendiri. Kecemasan – kecemasan ini akan bisa menjadi suatu konflik. Dan kecemasan itu juga merupakan suatu konflik intern bila kecemasan itu dialami langsung oleh kaum muda itu sendiri. Selain itu pula ada konflik ekstern yang bisa berupa kecemasan dari luar diri kaum muda. Berikut kita akan telusuri konflik – konflik intern dan ekstern yang dialami oleh kaum muda dalam hidup bersama dengan dirinya dan orang lain.
Problem yang dihadapi oleh kaum muda adalah konflik intern. Konflik intern adalah perubahan psikis yang timbul dalam diri kaum muda yang dipengaruhi oleh situasi internal emosional, hasrat dan kemampuan untuk berdiri sendiri serta idealismenya bagi masa depan. Dalam hal ini konflik intern dapat di lihat sebagai suatu yang bersifat naturalis, karena ia lekat erat dengan proses perkembangan kaum muda  ke arah kedewasaan (Ny. Pratiwi Knys; Problem Yang Dihadapi Muda-Mudi, hal. 30, Kanisius, 1990)
Akan tetapi konflik intern yang bersifat naturalis ini dapat beresiko apabila tidak diolah sebagaimana semestinya. Sebab mengolah konflik berbeda dengan mengajarkan orang muda menekan tuts komputer. Mengolah konflik mengandaikan adanya dialog yang komunikatif antara orang muda dengan dirinya (refleksi) dan orang muda dengan sesamanya (relasi).
Konflik intern kaum muda bisa juga disebabkan oleh keadaan luar diri kaum muda itu sendiri. Kaum muda sering merasa tidak sama seperti yang lainnya, menyebabkan dirinya sulit bergaul, kaum muda lebih mementingkan dirinya (egois) dan manja, sengaja mencari persoalan bila terlalu sedikit perhatian atau terlalu berlebihan perhatian yang diberikan kepadanya.
Konflik intern yang dialami oleh kaum muda bisa berdampak keluar sebagai akumulasi dari berbagai bentuk kecemasan yang diekspresikan dalam bentuk – bentuk lahiriah, seperti kenakalan, kebejatan moral, perilaku stres dan frustasi.
Konflik terbesar dan terpanjang dalam proses perkembangan diri kaum muda adalah konflik ekstern, yakni konflik yang ditimbulkan dari luar diri kaum muda itu sendiri. Konflik ini besar pengaruhnya, bahkan bisa menimbulkan pula konflik intern pada diri kaum muda.
Konflik yang disadari oleh orang – orang muda sekaligus menjadi tantangan zaman adalah adanya pergeseran nilai yang cukup drastis, perubahan pandangan tentang manusia, masyarakat dan dunia. Selain itu gelombang liberalisasi di semua aspek kehidupan cukup kuat menghantam eksistensi hidup manusia, khususnya kaum muda. Orang – orang muda menyebutkan beberapa ekses negatif yang menunjukan adanya konflik tersebut, antara lain pergaulan bebas yang mengarah pada hubungan seks bebas (Free sex) sebagai akibat gelombang liberalisasi, respek kepada nilai – nilai luhur dan orang yang lebih tua merosot tajam sebagai bentuk konkret adanya pergeseran nilai dalam masyarakat dunia. Muncul pula tindakan – tindakan anarkis seperti perampokan atau penjarahan sebagai imbas dari kesenjangan ekonomi global dan semakin sepinya rumah – rumah ibadat, praktek hidup yang amoral merupakan bukti sebagai terpuruknya agama – agama tradisional dan munculnya agama – agama baru, yang disebut sebagi agama – agama milenium ketiga.
Konflik – konflik yang dialami oleh kaum muda dapat menjadi sebuah kultur yang menjadi daya negatif yang dapat merusak diri kaum muda dan dunia. Paus Yohanes Paulus II merupakan salah satu tokoh terkemuka dalam sejarah yang mengajukan kosakata baru kultur kematian (culture of death). Kultur kematian adalah istilah untuk menamai nama daya-daya negatif yang merusak dunia kita. Kultur kematian sekaligus menunjuk kebisuan manusia di tengah-tengah persoalan-persoalan humanitas yang mempertaruhkan kehidupan umat manusia.
Dalam Evangelium Vitae (1995), Paus menegaskan pengakuan atas nilai suci hidup manusia sejak awal mulai sampai kesudahannya. Kultur kematian itu menampakkan wajah destruktifnya dalam kekerasan, perang dan perdagangan senjata, pembunuhan/kerusakan lingkungan, penyebaran obat bius, eksploitasi seksualitas, dan sebagainya.
Kultur kematian berakar pada distorsi subyektivitas dan kebebasan. Distorsi ini menimbulkan ancaman serius terhadap kehidupan, martabat, dan hak manusia. Orang-orang yang berada dalam posisi lemah dalam masyarakat, rentan sekali mengalami kematian prematur sebab kultur kematian menegasi perlindungan terhadap hidup manusia, pengembangan martabat manusia, dan penghormatan terhadap hak manusia. Kebijakan-kebijakan publik yang dipengaruhi kultur kematian tidak berkiblat pada mereka yang berada pada posisi rentan terhadap ancaman kematian prematur. Solidaritas terhadap mereka yang lemah tidak dibiarkan hidup dalam kultur kematian.
Kultur kehidupan adalah perlawanan terhadap budaya kematian. Perlawanan terhadap kultur kematian merupakan pembelaan terhadap kehidupan. Salah satu fakta paling tragis abad ini adalah bahwa perlawanan terhadap kultur kematian itu baru diserukan segelintir orang atau komunitas. Sebagian besar dari kita masih berperan sebagai penonton yang membiarkan kultur kematian itu memusnahkan kehidupan umat manusia. Sejarah yang dikelilingi kultur kematian akan cepat hancur kalau sebagian besar dari kita sekadar membisu di hadapan persoalan-persoalan kemanusiaan itu.
Pada tataran ini kita boleh berdiri sambil memandang sejarah 80 tahun silam di Republik ini bahwa sekelompok pemuda menunjukkan kepada dunia jati diri mereka dan seluruh rakyat yang mendiami Negara kepulauan yang disebut Indonesia satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa. Keampuhan Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928 perlu diuji kembali berhadapan dengan realitas budaya kematian yang kian merebak dalam diri kaum muda dan masyarakat Indonesia.
Rekonsiliasi Sebagai Solusi (Sebuah Tawaran)
  
Rekonsiliasi merupakan suatu tindakan pemulihan dari keadaan yang memprihatinkan. Rekonsiliasi ini merupakan jawaban atas keprihatinan atas diri kaum muda itu sendiri. Rekonsiliasi menjanjikan harapan baru atas diri kaum muda. Rekonsiliasi ini dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu jalur masuk (ke dalam) dan jalur keluar. Konflik-konflik yang dihadapi oleh kaum muda pada umumnya terjawab dalam bentuk usaha atau ikhtiar rekonsiliasi ke dalam  atau penyembuhan ke dalam (Inner Care). Hal ini mampu diejahwantakan dalam harapan-harapan kaum muda terhadap diri mereka sendiri. Kepada diri sendiri, kaum muda bertekad untuk membangun ketahanan jasmani maupun rohani, membiasakan hidup sehat sambil mengisi bekal rohani dengan menggeluti ajaran keagamaan dalam praksis hidup mereka setiap hari. Inilah sebuah bentuk sederhana tetapi kaya arti dan berdampak positif dari sebuah ikhtiar rekonsiliasi ke dalam. Rekonsiliasi ke dalam tidak akan mungkin berhasil bila tidak didukung oleh adanya ikhtiar rekonsiliasi keluar. Sebab rekonsiliasi sebagai suatu solusi harus dijalankan secara dialogis-komunikatif dan berlandaskan kasih.
Rekonsiliasi keluar lebih pada peran serta orang lain di luar diri kaum muda, tetapi hidup dan berada besama dengan kaum muda. Karena itu rekonsiliasi keluar ini pertama-tama diarahkan kepada orang tua dan masyarakat. Kalangan muda berharap agar para orang tua perlu memberikan perhatian dan kasih sayang yang sehat dalam keluarga, memperhatiakan juga pentingnya pendidikan seks bagi anak-anak sehingga mereka tidak terjerumus pada pemahaman yang keliru yang diterimanya melalui sarana komunikasi di era informasi yang kian transparan ini. Kaum muda juga berharap agar masyarakat selaku kesatuan sosial mempunyai peran sebagai filter (penyaring) dengan melakukan fungsi kontrol sosial (social control). Fungsi kontrol sosial ini penting sebab akan berperan sebagai filter yang mampu menyaring semua pengaruh yang mengalir dari arus informasi yang melejit pesat ketika dunia sedang berada di tengah samudra kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dengan gelombang globalisasinya.
Model pendekatan kepada kaum muda yang ditawarkan adalah model pendekatan kreativitas. Model kreativitas ini tidaklah dilahirkan namun tumbuh dalam proses sehingga ia selalu berkembang. Model pendekatan kreativitas sangatlah tepat untuk kaum muda. Model ini bagaikan bola dalam permainan sepak bola. Ia menggelinding di lapangan. Bergulir dari sudut ke sudut arena permainan, dihempas dari kaki ke kaki, disundul dari kepala ke kepala. Bulat bentuknya dan menjadi rebutan tiap pemain di semua lini lapangan. Kadang, ia menjadi bagai harta milik yang butuh perlindungan tapi tak jarang juga ia menjadi incaran yang harus segera diburu dan direbut. Ia lembut dalam dekapan sang penjaga gawang, sebaliknya amat garang ketika berhasil menjebol jaring-jaring gawang, melambung dari titik penjuru ke kotak penalti. Ia pun liar. Tapi ia mampu mengundang banyak orang untuk bersorak, menjerit, memaki. Ia juga mampu membangkitkan rasa nasionalisme. (Sanggar Talenta, Remaja tentang Hedonisme, hal.1, Kanisius, 1999)
Model pendekatan kreativitas ini mampu menunjukkan bahwa untuk mendekati dan mendampingi kaum muda perlu adanya sikap dan semangat menerima diri kaum muda apa adanya, dalam segala bentuk karakter, sifat dan latar belakangnya. Janganlah kita menolak salah satu dari apa yang ada pada kaum muda. Sebab kaum muda juga manusia yang tidak menghendaki yang buruk dan jahat terjadi atas diri mereka. Kekeliruan (error) dan kejahatan dari hakikatnya tidak merupakan tujuan. Ia hanya bentuk-bentuk dari ketidaktahuan manusia yang dalam epistemologi dikenal dengan nescientia (tidak ada pengetahuan)  dan ignorantia (kurang pengetahuan). Kekeliruan menjadi mungkin bila ada kekurangan kesadaran.
Sudah cukup sampai di sini! Saya mestinya tidak banyak berteori ketika  saya bersama yang lain mesti berbuat sesuatu untuk membungkam kultur kematian. Seperti bayi kecil yang mulai mengeluarkan suara pertamanya, kehidupan itu bersuara lirih dan rentan sekali terhadap penghancuran. Sejarah kemanusiaan tidak dapat dibela dengan kebisuan. Kultur kehidupan adalah perlawanan terhadap budaya kematian. Perlawanan terhadap kultur kematian merupakan pembelaan terhadap kehidupan. Salah satu fakta paling tragis abad ini adalah bahwa perlawanan terhadap kultur kematian itu baru diserukan segelintir orang atau komunitas. Sebagian besar dari kita masih berperan sebagai penonton yang membiarkan kultur kematian itu memusnahkan kehidupan umat manusia. Dalam saat-saat yang paling gelap dunia selalu membutuhkan sahabat yang solider.  Kita semua dapat menjadi ...!***
KEPUSTAKAAN
Andalas, Mutiara, Melawan Kultur Kematian, KOMPAS, 2005.
Catatan Kuliah Epistemologi, 1996.
Ny. Pratiwi Knys, Problem Yang Dihadapi Muda-Mudi, Kanisius, Yogyakarta, 1990.
PIJAR, Majalah Filsafat UGM, Edisi Soempah Pemoeda,  Yogyakarta, 28 Oktober 1997.
Poespowardojo, Soerjanto, ed., Pendidikan Wawasan Kebangsaan, LPSP dan PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1994.
Sanggar Talenta, Remaja tentang Hedonisme, Kanisius, Yogyakarta, 1999.

HASIL UJIAN NASIONAL DAN REORIENTASI PENDIDIKAN NASIONAL

HASIL UJIAN NASIONAL DAN REORIENTASI
PENDIDIKAN NASIONAL
OLEH : JONAS GOBANG
Departemen Pendidikan Nasional melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) pada tahun 2008 ini. Hasil UN sudah kita ketahui tapi perlu dicermati untuk menentukan kembali orientasi pendidikan nasional. Tidak berlebihan jika saya mengatakan hasil UN untuk tingkat SD / MI / SDLB, SMP / MTs / SMPLB, SMA / MA / SMALB sangat tidak membanggakan sekaligus dapat mengerdilkan hati bangsa ini dalam menyiapkan generasi muda menjadi generasi yang cerdas dan kreatif serta berdaya saing tinggi.
Alamak! Keluhan bahkan umpatan, caci maki terlontar spontan dari mulut anak didik dan orang tua ketika menerima hasil UN. Tapi ada juga yang lebih dari itu. Ratapan kedukaan juga menggedor gendang telinga kita, ketika tahu tidak lulus UN, seorang siswi di Manggarai langsung bunuh diri. Ada juga anak didik yang menurut guru – gurunya cerdas dan mendapat rangking teratas selama belajar di sekolahnya, tapi harus menelan kenyataan getir, tidak lulus UN. Dan lagi mereka yang tidak lulus UN, meski enggan dan malu, terpaksa mengikuti ujian kesetaraan yang dikelompokan pada Paket A untuk SD / MI / SDLB, B untuk SMP / MTs / SMPLB, dan C untuk SMA / MA / SMK / SMALB. Pertanyaanya, apakah dengan mengikuti UN, Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional yang telah menugasi BSNP merasa yakin akan mencetak generasi muda Indonesia yang cerdas, kreatif dan berdaya saing tinggi? UN bukanlah segalanya!!! UN juga tidak mendidik anak bangsa agar cerdas dan kreatif. UN adalah proyek yang mendatangkan uang bermiliaran rupiah bagi para cukong yang menang tender pengadaan barang – barang UN. Hitung saja berapa ratus juta sekolah peserta UN di Negeri ini?
Keluhan mengenai rendahnya kualitas manusia Indonesia dan tidak adanya daya kreatifitas dibanyak kalangan generasi muda kita sesungguhnya tidak terlepas dari orientasi pendidikan kita dewasa ini. Kita perlu menggagas kembali orientasi pendidikan nasional agar kita menemukan sistem yang tepat guna menghasilkan generasi muda Indonesia yang cerdas, kreatif dan berdaya saing tinggi. Kita jangan cepat menyalahkan saran dan prasarana, fasilitas pendidikan yang minim, alokasi anggaran pendidikan yang minim, atau mutu gurunya. Kita perlu merefleksikan k\embali orientasi pendidikan kita. Banyak anak cerdas dan kreatif  “ dibunuh “ dengan dinyatakan tidak lulus UN. Menurut saya UN tidak boleh hanya dilakukan secara obyektif, berkeadilan dan akuntabel, tetapi UN harus dijalankan secara komprehensif dan proposional. Itu artinya UN sesungguhnya tidaklah  komprehensif dan proposional. UN bagi anak didik semata – mata berorientasi pada kelulusan belaka. Asalkan bisa lulus UN dan setelah itu diapresiasikan dengan aksi coret- coret dan ngebut- ngebutan di jalan. UN sesungguhnya telah menyumbangkan pendidikan yang berorientasi ‘’ instan’’ artinya hanya dalam tempo yang singkat, proses belajar selam bertahun – tahun ditentukan melalui UN 3 – 4 hari. Bagi kalangan lain tentu berpandangan bahwa UN bukanlah sesuatu yang buruk. Karena toh kita membutuhkan standar tertentu untuk mengukur mutu kelulusan. Menurut saya UN saja tidak cukup untuk sebuah mutu atau kualitas. Apa lagi sistem jawaban UN yang menggunakan lembar jawaban komputer (LJK) telah banyak merugikan anak didik. Mengapa cara yang merugikan ini digunakan? Gunakan saja cara yang tidak merugikan. Boleh saja memakai komputer, tapi jangan sampai hanya karena keliru dalam membuat bulatan meski jawaban benar tapi disalahkan oleh komputer. Saya anjurkan dicarikan solusinya karena pensil yang digunakan ada yang tiruan,dan barang tiruan biasanya lebih banyak beredar di pasaran.
Lebih lanjut dalam refleksi saya, peran guru selama bertahun  - tahun membimbing anak didik digeser dan digantikan oleh benda mati komputer demi UN yang katanya lebih objektif, berkeadilan dan akuntabel. Bagi saya UN sebaiknya ditiadakan saja. UN hanyalah menoreh gonggongan kelamnya dunia pendidikan di Indonesia seraya melantunkan mazmur ratapan para guru dan kidung memilukan para murid. Namun betapapun memilukan hasil UN, baiklah kita berpedoman pada kata orang bijak  “Dari pada mengutuki kegelapan, lebih baiklah menyalakan lilin, sekecil apapun lilin itu.”
Menurut Romo Mangun tugas pendidikan (sekolah) ialah menghantar dan menolong peserta didik untuk mengenali dan mengembangkan potensi – potensi dirinya agar menjadi manusia yang mandiri, dewasa dan utuh; manusia merdeka sekaligus peduli dan solider dengan sesama manusia lain dalam iktiar meraih kemanusiaan yang semakin sejati, dengan jati diri dan cita - diri yang semakin utuh, harmonis dan integral. Pendidikan bermekanisme belajar untuk seumur hidup. Seluruh masyarakat adalah sekolah. Peserta didik harus punya sikap dasar sebagai modal yaitu “semua orang adalah guruku”, sehingga pada saatnya nanti “semua orang adalah muridku juga”. Pendidikan harus mampu membekali dan mendampingi peserta didik agar :
a.    Secara perorangan menjadi pribadi yang cerdas, terampil, jujur dan berkarakter, takwa dan utuh.
b.    Dari segi sosial menjadi manusia dengan rasa solidaritas dan pelibatan diri yang bertanggung jawab.
Pendidikan diarahkan pada proses emansipasi para peserta didik. Ada tiga tujuan emansipatorik yaitu :
a.    Manusia eksplorator : suka mencari, bertanya, berpetualang, punya keyakinan bahwa manusia yang bertanya jauh lebih tinggi tingkatnya dari pada yang pintar menjawab pertanyaan – pertanyaan yang sudah ada.
b.    Manusia kreatif  : pembaru, berjiwa terbuka, dan merdeka; kritis, kaya imajinasi, dan fantasi; dan tidak mudah menyerah pada nasib.
c.    Manusia integral : sadar akan multidimensionalitas kehidupan, paham akan kemungkinan jalan – jalan alternatif, pandai membuat pilihan yang benar atas dasar pertimbangan yang benar, yakin akan benar atas dasar pertimbangan yang benar, dan yakin akan kebhinekaan kehidupan namun mengintegrasikannya dalam suatu kerangka yang sederhana.
Romo Mangun meyakini pandangan bahwa tidak ada anak yang bodoh. Setiap anak secara unik dan alami dibekali naluri dasar untuk bertumbuhan. Maka sikap guru yang benar terhadap murid bukan instruktor, indoktrinator, penatar, birokrasi, komandan atau pawamg, melainkan guru sebagai ibu, bapak, kakak, sahabat, dan penyayang anak didik. Guru mendidik peserta didik dengan berprinsip ajrih-asih dalam atmosphere sekolah yang penuh kekeluargaan, kesetiakawanan, saling menolong, dan saling memajukan diri. Iklim kompetisi yang tidak sehat harus disingkirkan tanpa mematikan usaha anak untuk berprestasi.
Nah, UN sekali lagi memang aneh. Anak yang pintar dan selalu mendapat rangking dan diandalkan gurunya, cuma bisa menatap aneh, koq tidak lulus; sementara yang tidak diandalkan juga merasa aneh, koq saya lulus ya? Duh, Aduh Republikku Indonesia jangan sampai pecah dindingmu lalu terhempas gelombang. Karena bangsa hanya bisa maju kalau pendidikannya juga maju. Mari kita meletakkan kembali orientasi pendidikan, bukan sebagai “proyek” tetapi sebagai tugas (Aufgabe) dan penggilan ibu pertiwi. Karena untuk mendidik seorang anak, kita membutuhkan satu desa.****

MENGGAGAS INDONESIA BARU

MENGGAGAS INDONESIA BARU
Refleksi 64 Tahun Indonesia Merdeka
Oleh : Jonas Gobang
Jasmerah! Kata Bung Karno, Proklamator Kemerdekaan RI. Jangan melupakan sejarah. Sebab sejarah tidak mungkin didustai karena ia senantiasa menyampaikan kebenaran. Solzhenitzyn pernah berkata, “Belajarlah sejarah karena orang yang belajar sejarah saja masih buta sebelah matanya. Apalagi yang tidak pernah belajar dan mengerti sejarah, ia akan buta pada kedua matanya.”
Sebagai sebuah bangsa, Indonesia juga memiliki catatan sejarah masa silam. Tentu saja catatan sejarah bukanlah sebuah romantisme belaka melainkan moment yang tepat untuk belajar. Dan karena manusia adalah “gembala tradisi” maka catatan sejarah juga hendaknya menjadi referensi yang terus disegarkan dengan tindakan konkret saat ini dan di sini, di bumi Indonesia. Melupakan sejarah berarti kita juga melupakan tindakan rasional humanis yang harus mewarnai seluruh sepak terjang kita sebagai warga masyarakat dan warga negara Indonesia yang baik. Sekali lagi “Jasmerah” – Jangan melupakan sejarah!
“Saudara-saudara sekalian!
Saja telah minta saudara-saudara hadlir di sini untuk menjaksikan satu peristiwa maha-penting dalam sedjarah kita.” Demikian Bung Karno mengawali Pidato dalam mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945, 63 tahun silam. Lebih lanjut Bung Karno mengatakan, “Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berdjoang, untuk kemerdekaan tanah-air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun! Gelombangnja aksi kita untuk mentjapai kemerdekaan kita itu ada naiknja dan ada turunnja, tetapi djiwa kita tetap menudju kearah tjita-tjita. Djuga didalam djaman Djepang, usaha kita untuk mentjapai kemerdekaan-nasional tidak berhenti-berhenti. Didalam djaman Djepang ini, tampaknja sadja kita menjandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnja, tetap kita menjusun tenaga kita sendiri, tetap kita pertjaja kepada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnja kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah-air kita didalam tangan kita sendiri. Hanja bangsa jang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnja. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musjawarat dengan pemuka-pemuka Rakjat Indonesia, dari seluruh Indonesia. Permusjawaratan itu seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnja untuk menjatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara!
Dengan ini kami menjatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah proklamasi kami.(Buku “Dari Proklamasi sampai Takem”1963).
Demikian Bung Karno mengawali kata-kata tersebut sebelum ia membacakan naskah Proklamasi.
Ketika saya membaca kembali catatan sejarah yang dihimpun dan dibukukan oleh Muhammad Yamin tersebut di atas, saya mencoba untuk merasakan semangat dan keberanian Bung Karno dkk untuk menyatakan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia telah bebas dari cengkraman penjajah. Kita sekarang telah merdeka! Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Tetapi sekarang, meskipun sudah 63 tahun merdeka, kita masih memaknai kemerdekaan itu dengan lomba makan kerupuk. Masih banyak rakyat bangsa Indonesia yang antri BLT dan beras murah tapi sambil meneteng handphone. Masih banyak juga balita gizi buruk di hampir semua pelosok negeri yang kaya akan sampah kemasan makanan instan dan berhamburan di seantero pojok kota. Masih banyak dana subsidi rakyat kecil di desa yang dinikmati pejabat kaya di kota. Dan masih banyak contoh lain lagi, bukan?
Menyimak beberapa contoh ironis yang dialami bangsa Indonesia setelah merdeka selama 63 tahun ini, saya teringat akan ulasan Kahin dalam bukunya Simon Philpott, Meruntuhkan Indonesia. Kahin berpendapat, sejarah Indonesia adalah sejarah yang memunculkan masyarakat yang kehilangan keseimbangan atau masyarakat yang terdistorsi. Kahin mungkin benar karena yang dikaji Kahin adalah masyarakat Jawa yang benar-benar kehilangan keseimbangan karena penjajah atau kolonial ketika itu. Tapi apakah Kahin masih benar ketika kita atau bangsa Indonesia ini sudah merdeka 63 tahun? Apakah masih ada masyarakat Indonesia saat ini yang kehilangan keseimbangan? Kahin punya alasan bahwa yang membuat masyarakat menderita adalah penjajah. Tapi, siapakah yang membuat masyarakat Indonesia kini  menderita? Penjajah kah? Neokolonialisme dengan beraneka pakaian dan seragam bisa membuat masyarakat Indonesia terdistorsi. Masyarakat kehilangan kepercayaan pada para pemimpinnya. Rantai makanan di negeri ini menjadi kacau balau. Manusia saling memakan satu dengan yang lain. Ancaman hukuman mati tidak hanya untuk penjagal manusia tapi juga untuk para pemakan uang negara. Berbagai lembaga bentukan pemerintah dan swasta bekerja sama dengan pendonor luar negeri berjuang keras membela hak asasi dan martabat manusia terutama perempuan dan anak-anak. Namun rakyat masih belum bebas dari berbagai penderitaan, bahkan rakyat terus dibebani dengan kenaikan harga barang, meski impor mobil mewah terus membanjiri negeri ini.
Negeri ini memang pernah mengukir sejarah, tirani atau kekuasaan yang sewenang-wenang akan hancur juga kendati ia mencoba untuk bertahan dalam hitungan dekade sekalipun. Ketika Soeharto menyatakan lengser pada tanggal 21 Mei 1998 banyak orang terkejut dan para demontran bersorak gembira sambil berteriak merdeka! Maknanya adalah bebas dari kekuasaan yang sewenang-wenang ala orde baru, meski kita juga harus jujur untuk memuji prestasi mendiang sang presiden orde baru itu. Kita pantas belajar dari sejarah! Agar kita tidak jatuh pada lubang yang sama seperti keledai dungu. Kita juga jangan menjadi penggali lubang penderitaan dan kematian bagi rakyat di negeri ini dengan berbagai sepak terjang kita entah dengan pakaian atau seragam apapun yang kita kenakan pada diri kita. Kita bertekad, Indonesia yang korup, Indonesia yang sewenang-wenang, Indonesia yang terkotak-kotak, Indonesia yang malas sehingga cuma bisa buat lomba makan kerupuk harus kita runtuhkan dan kita ganti dengan Indonesia baru yang bersih, sehat, kuat dan rakyatnya bisa makan 3 kali sehari ditemani dengan kerupuk yang krenyas-krenyes sambil tersenyum pada siapa saja saudaranya sebangsa dan setanah-air. Indonesia juga harus mampu bersaing di dunia Internasional sambil merangkul penuh damai negeri-negeri yang masih berkecamuk perang.
Indonesia, setelah 63 tahun merdeka janganlah pernah lupa akan sejarah perjuangannya. Dengan itu kita sebagai bangsa yang berdaulat dapat dengan bebas untuk berikhtiar mengisi kemerdekaan ini. Kita tidak boleh berhenti belajar untuk menjadi bangsa yang bermartabat dan berdaya saing tinggi. Kita memang harus giat belajar agar kita tidak menjadi bangsa yang mengekor dan tertinggal jauh di belakang. Indonesia yang sebentar lagi akan menyelenggarakan Pemilu legislatif dan Pemilihan langsung presiden dan wakil presiden harus benar-benar dapat memperbaharui diri. Sesungguhnya reformasi Indonesia belum berakhir. Pemilu 2009 nanti hendaknya menjadi momentum perubahan yang membawa rakyat bangsa Indonesia bukan hanya pada pintu gerbang kesejahteraan tapi turut masuk dan menikmati kesejahteraan di dalam rumah Indonesia yang kokoh, kuat, bersih dan sehat. Karena kesejahteraan Indonesia adalah kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Indonesia boleh menjadi komunitas etis yang bukan menjadi mimpi semata bagi seluruh rakyat Indonesia entah sampai kapan tapi menjadi kenyataan konret yang dialami oleh seluruh tumpah darah Indonesia yaitu rakyatnya, warga negara Indonesia yang hidup rukun dan damai dengan semua penghuni bumi. Bung Karno menutup pidato Proklamasinya dengan berkata, “ Insja Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu!”
Dan saya  mengatakan, “Amin!”

I HAVE A DREAM

Saya punya mimpi ....