Jonas Gobang

Thursday, April 9, 2015

DARURAT KORUPSI



DARURAT KORUPSI: KITA HARUS BUAT APA ?

Oleh : Jonas KGD Gobang


Peneliti pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Nusa Nipa Maumere - FLORES



            Pemberantasan korupsi tidak bisa dijalankan dengan hanya berpangku tangan. Pemberantasannya menjadi agenda serius. Kita dapat belajar dari negeri jiran Singapura  yang telah membuktikan bahwa mereka dapat mengatasi masalah korupsi. Tingkat korupsi di Singapura termasuk terkecil di dunia. Lembaga pembarantasan korupsinya bekerja efektif  baik di sektor pemerintah maupun di sektor swasta. Di Indonesia, korupsi menjadi isu penting bahkan kini berada pada level darurat korupsi.  Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru menghadapi berbagai bentuk tantangan dan ancaman pelemahan. KPK tentu saja tidak mampu bekerja efektif  jika benar terjadi kriminalisasi.  Korupsi di Indonesia menjadi masalah besar dan termasuk bentuk kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) yang kian merebak dari pusat hingga ke semua wilayah di tanah air Indonesia. Bahkan dana MCK untuk masyarakat korban bencana alam pun dikorup. Ironis, bukan?
            Lebih ironis lagi, parlemen dan kepolisian menempati peringkat tertinggi korupsi. Lihat saja, seorang tersangka korupsi tetap saja diproses oleh DPR menjadi calon Kepala Polisi RI. Fakta ini dengan logika yang sederhana dapat dikatakan sebagai upaya pelemahan tindakan pemberantasan korupsi di Indonesia. Para politisi di parlemen selalu berdalih bahwa fakta tersebut adalah persoalan hukum sehingga DPR tetap ngotot agar Presiden Jokowi melantik Komjen Budi Gunawan menjadi Kapolri.
            Edwin H. Sutherland berpendapat bahwa korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai white-collar crime atau kejahatan kaum berdasi. Kejahatan ini menurut Sutherland, secara sosiologis setara dengan kejahatan konvensional seperti pencurian, penipuan, perampokan, dan pembunuhan walaupun kejahatan tersebut memiliki cakupan yang luas meliputi kejahatan di lingkungan profesi, seperti usahawan, pedagang, dokter, ahli hukum, politisi, dan pejabat publik.
            Seorang koruptor atau tersangka koruptor di Indonesia sekian sering mencari pembenaran atas perilaku korupnya (teknik menetralisasi perilaku penyimpangan) melalui upaya pemanfaatan terhadap kelemahan aturan hukum yang berlaku atau pemanfaatan aturan-aturan hukum tersebut sebagai dasar pembenaran perilakunya. Tindakan ini selalu mendapat dukungan dari para kroninya. Korupsi bila dikaji secara teoritik (kriminologis) merupakan perwujudan dari kejahatan yang dilakukan dalam hubungannya dengan pekerjaan yang sah dan melibatkan penyalahgunaan jabatan. Salah satu sanksi kemasyarakatan terhadap kejahatan korupsi adalah pemberian rasa malu (shaming) kepada si pelaku korupsi. Pemberian rasa malu (shaming) akan berjalan efektif apabila di seluruh lapisan masyarakat terdapat budaya anti korupsi, kolusi dan nepotisme.
            Darurat korupsi di Indonesia diafirmasi oleh sebuah hasil riset yang menunjukkan bahwa terdapat fenomena yang disebut sebagai kapitalisasi Pemilu. Setiap terjadi pemilihan para pejabat publik, seperti bupati, gubernur bahkan parlemen selalu terjadi transaksi uang milyaran rupiah. Angka yang paling sering disebut adalah Rp 3 milyar. Konsekuensi negatif dari kapitalisasi ini adalah calon yang terpilih berhasrat mengembalikan modal yang sudah mereka keluarkan dengan cara yang tidak sah atau melanggar hukum. Penelitian ini berkesimpulan bahwa terdapat relasi antara perilaku korupsi para pejabat publik dengan jumlah uang yang dikeluarkan oleh para calon ketika mereka menjalani proses pemilihan. Lemahnya aturan bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi dan bahkan mendorong seorang pejabat publik melakukan tindak korupsi. Faktor-faktor lain, seperti lemahnya fungsi rekruitmen partai politik dan perilaku tidak pernah puas dan terdorong untuk melakukan tindak pidana korupsi.
            Enoh Tanjong seorang peneliti asal Kamerun menulis kajiannya tentang media melawan korupsi di Kamerun, Afrika dengan judul “Media Fight Against Corruption in Cameroon: Public Assesment”. Penelitian Tanjong juga menyebutkan bahwa media massa di Kamerun memiliki fungsinya yang ideal untuk mengontrol (watchdog) apa yang terjadi dalam masyarakat. Media massa di Kamerun, salah satu negara di Afrika dengan tingkat korupsi yang tinggi, telah menjalankan perannya melawan praktik korupsi dengan program antikorupsi. Jadi media massa di Kamerun secara sadar menanamkan ideologi antikorupsi melalui program produksinya.
            Media massa tidak hanya menanamkan kesadaran bagi warganya untuk antikorupsi, mengetahui sebab dan konsekuensi dari tindak korupsi, tetapi juga media massa menyajikan hasil investigasi dan menurunkan laporan tentang bahaya-bahaya akibat korupsi. Banyak politisi dan birokrat yang diberitakan media mengalami kehilangan pekerjaan akibat korupsi. Media massa di Kamerun melakukan rekonstruksi atas peristiwa korupsi menjadi berita yang dapat mempengaruhi opini publik.
            Di Indonesia banyak aturan yuridis (seperti UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Pencegahan dan Penindakan Tindak Pidana Korupsi) yang dibuat untuk mencegah orang dan menghukum para koruptor nampaknya belum menunjukkan hasil yang optimal. Korupsi masih terus terjadi di negeri ini. Korupsi tidak hanya dilakukan secara perorangan, tetapi sudah membentuk sistem persekongkolan orang-orang korup. Akibatnya dapat menghambat kemajuan mentalitas maupun institusi-institusi yang menopang masyarakat, dan menghambat gairah partisipasi rakyat untuk terlibat dalam proses pembangunan.
            Kalau kita mau berbuat sesuatu untuk mencegah korupsi di Indonesia, tidak cukup hanya dengan menulis atau nge-twit #SaveKPK saja, nanti kita dapat dibilang NATO (No action, talk only). Kita harus berbuat sesuatu mulai dengan diri kita sendiri untuk berani jujur, tidak mencuri uang atau menggelapkan harta milik orang apalagi milik negara.
Korupsi itu sama dengan sindiran Karl Marx sebagai “ironi yang paling nikmat”. Marx yang pernah menjadi wartawan Rheinische Zeitung telah melancarkan kritik pedasnya kepada kaum borjuis, terpesona dengan tokoh Frenhofer dalam novel yang  ditulis oleh Honoré de Balzac berjudul “Mahakarya Tak Dikenal”. Bahwa bila sebuah zaman cuma bisa menunjukkan adanya chaos (baca: korupsi) maka dapat ditemukan makna dan solusinya di zaman kemudian. Apakah kita harus menunggu lagi untuk tidak korup?***


           

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home