DARURAT KORUPSI
DARURAT KORUPSI: KITA HARUS BUAT APA ?
Oleh : Jonas KGD Gobang
Peneliti pada Lembaga
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Nusa Nipa
Maumere - FLORES
Pemberantasan
korupsi tidak bisa dijalankan dengan hanya berpangku tangan. Pemberantasannya
menjadi agenda serius. Kita dapat belajar dari negeri jiran Singapura yang telah membuktikan bahwa mereka dapat
mengatasi masalah korupsi. Tingkat korupsi di Singapura termasuk terkecil di
dunia. Lembaga pembarantasan korupsinya bekerja efektif baik di sektor pemerintah maupun di sektor
swasta. Di Indonesia, korupsi menjadi isu penting bahkan kini berada pada level
darurat korupsi. Namun, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) justru menghadapi berbagai bentuk tantangan dan
ancaman pelemahan. KPK tentu saja tidak mampu bekerja efektif jika benar terjadi kriminalisasi. Korupsi di Indonesia menjadi masalah besar dan
termasuk bentuk kejahatan yang luar biasa (extra
ordinary crime) yang kian merebak dari pusat hingga ke semua wilayah di
tanah air Indonesia. Bahkan dana MCK untuk masyarakat korban bencana alam pun
dikorup. Ironis, bukan?
Lebih
ironis lagi, parlemen dan kepolisian menempati peringkat tertinggi korupsi.
Lihat saja, seorang tersangka korupsi tetap saja diproses oleh DPR menjadi
calon Kepala Polisi RI. Fakta ini dengan logika yang sederhana dapat dikatakan
sebagai upaya pelemahan tindakan pemberantasan korupsi di Indonesia. Para
politisi di parlemen selalu berdalih bahwa fakta tersebut adalah persoalan hukum
sehingga DPR tetap ngotot agar Presiden Jokowi melantik Komjen Budi Gunawan
menjadi Kapolri.
Edwin H. Sutherland berpendapat
bahwa korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai white-collar crime atau kejahatan kaum berdasi. Kejahatan ini
menurut Sutherland, secara sosiologis setara dengan kejahatan konvensional
seperti pencurian, penipuan, perampokan, dan pembunuhan walaupun kejahatan
tersebut memiliki cakupan yang luas meliputi kejahatan di lingkungan profesi,
seperti usahawan, pedagang, dokter, ahli hukum, politisi, dan pejabat publik.
Seorang koruptor atau tersangka
koruptor di Indonesia sekian sering mencari pembenaran atas perilaku korupnya
(teknik menetralisasi perilaku penyimpangan) melalui upaya pemanfaatan terhadap
kelemahan aturan hukum yang berlaku atau pemanfaatan aturan-aturan hukum
tersebut sebagai dasar pembenaran perilakunya. Tindakan ini selalu mendapat
dukungan dari para kroninya. Korupsi
bila dikaji secara teoritik (kriminologis) merupakan perwujudan dari kejahatan
yang dilakukan dalam hubungannya dengan pekerjaan yang sah dan melibatkan
penyalahgunaan jabatan. Salah satu sanksi kemasyarakatan terhadap kejahatan korupsi adalah
pemberian rasa malu (shaming) kepada
si pelaku korupsi. Pemberian rasa malu (shaming)
akan berjalan efektif apabila di seluruh lapisan masyarakat terdapat budaya
anti korupsi, kolusi dan nepotisme.
Darurat korupsi di Indonesia
diafirmasi oleh sebuah hasil riset yang menunjukkan bahwa terdapat fenomena
yang disebut sebagai kapitalisasi Pemilu. Setiap terjadi pemilihan para
pejabat publik, seperti bupati, gubernur bahkan parlemen selalu terjadi
transaksi uang milyaran rupiah. Angka yang paling sering disebut adalah Rp 3
milyar. Konsekuensi negatif dari kapitalisasi ini adalah calon yang terpilih
berhasrat mengembalikan modal yang sudah mereka keluarkan dengan cara yang
tidak sah atau melanggar hukum. Penelitian ini berkesimpulan bahwa terdapat
relasi antara perilaku korupsi para pejabat publik dengan jumlah uang yang
dikeluarkan oleh para calon ketika mereka menjalani proses pemilihan. Lemahnya
aturan bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi dan bahkan mendorong
seorang pejabat publik melakukan tindak korupsi. Faktor-faktor lain, seperti
lemahnya fungsi rekruitmen partai politik dan perilaku tidak pernah puas dan
terdorong untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Enoh
Tanjong seorang peneliti asal Kamerun menulis kajiannya tentang media melawan
korupsi di Kamerun, Afrika dengan judul “Media
Fight Against Corruption in Cameroon: Public Assesment”. Penelitian Tanjong
juga menyebutkan bahwa media massa di Kamerun memiliki fungsinya yang ideal
untuk mengontrol (watchdog) apa yang
terjadi dalam masyarakat. Media massa di Kamerun, salah satu negara di Afrika
dengan tingkat korupsi yang tinggi, telah menjalankan perannya melawan praktik
korupsi dengan program antikorupsi. Jadi media massa di Kamerun secara sadar
menanamkan ideologi antikorupsi melalui program produksinya.
Media
massa tidak hanya menanamkan kesadaran bagi warganya untuk antikorupsi,
mengetahui sebab dan konsekuensi dari tindak korupsi, tetapi juga media massa menyajikan
hasil investigasi dan menurunkan laporan tentang bahaya-bahaya akibat korupsi.
Banyak politisi dan birokrat yang diberitakan media mengalami kehilangan
pekerjaan akibat korupsi. Media massa di Kamerun melakukan rekonstruksi atas
peristiwa korupsi menjadi berita yang dapat mempengaruhi opini publik.
Di
Indonesia banyak aturan yuridis (seperti UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang
Pencegahan dan Penindakan Tindak Pidana Korupsi) yang dibuat untuk mencegah
orang dan menghukum para koruptor nampaknya belum menunjukkan hasil yang
optimal. Korupsi masih terus terjadi di negeri ini. Korupsi tidak hanya
dilakukan secara perorangan, tetapi sudah membentuk sistem persekongkolan
orang-orang korup. Akibatnya dapat menghambat kemajuan mentalitas maupun
institusi-institusi yang menopang masyarakat, dan menghambat gairah partisipasi
rakyat untuk terlibat dalam proses pembangunan.
Kalau
kita mau berbuat sesuatu untuk mencegah korupsi di Indonesia, tidak cukup hanya
dengan menulis atau nge-twit #SaveKPK saja, nanti kita dapat dibilang NATO (No action, talk only). Kita harus
berbuat sesuatu mulai dengan diri kita sendiri untuk berani jujur, tidak
mencuri uang atau menggelapkan harta milik orang apalagi milik negara.
Korupsi itu sama dengan
sindiran Karl Marx sebagai “ironi yang paling nikmat”. Marx yang pernah menjadi
wartawan Rheinische Zeitung telah
melancarkan kritik pedasnya kepada kaum borjuis, terpesona dengan tokoh
Frenhofer dalam novel yang ditulis oleh
Honoré de Balzac berjudul “Mahakarya Tak Dikenal”. Bahwa bila sebuah zaman cuma
bisa menunjukkan adanya chaos (baca:
korupsi) maka dapat ditemukan makna dan solusinya di zaman kemudian. Apakah
kita harus menunggu lagi untuk tidak korup?***
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home