Jonas Gobang

Sunday, May 9, 2010

SUPERMAN ATAU SUPERTEKNOLOGI ?
Berpikir tentang Manusia di tengah Arus Kemajuan Teknologi Komunikasi

 
Oleh : Jonas Klemens G.D. Gobang 

Pendahuluan
            Berangkat dari contoh kasus yang penulis alami sendiri, penulis lantas mengajukan pertanyaan ini, siapakah yang “berkuasa” di tengah arus kemajuan teknologi komunikasi, manusia atau teknologi? Pertanyaan inilah yang mendorong penulis untuk berpikir tentang manusia atau menempatkan manusia sebagai subyek kajian dalam arus kemajuan teknologi komunikasi. Karena itu wajar jika ikhtiar dari refleksi ini adalah ingin menemukan “superman” atau “superteknologi”. Sebelum kita mengupasnya lebih lanjut, pada bagian pendahuluan ini, penulis ingin mengutarakan contoh kasus yang penulis alami secara pribadi.
            Contoh kasus yang ingin diutarakan oleh penulis dalam tulisan ini sesungguhnya merupakan pengalaman pribadi yang dialami penulis ketika sedang mengerjakan sebuah tugas perkuliahan pada program pascasarjana ilmu komunikasi. Memang banyak contoh yang dapat kita sebutkan ketika manusia berhadapan dengan teknologi komunikasi sebagai alat dan ketika teknologi komunikasi itu seolah-olah menjadi manusia (alter human) dan mengirasionalkan manusia. Ketika sedang mengerjakan tugas perkuliahan, saya menggunakan teknologi computer sebagai alat yang dapat membantu saya. Selain itu saya juga membutuhkan internet untuk melengkapi refleksi ini dengan beberapa teori komunikasi. Lagi-lagi teknologi berperan sebagai alat yang membantu saya untuk mendapatkan informasi. Dan ketika saya pun menonton televisi dan melihat orang yang saya “benci” secara politis (Maaf! Tidak sopan kalau saya sebutkan namanya di sini) maka spontan saya memaki-makinya di depan layar televisi, mengumpat-umpatnya, menumpahkan seluruh kemarahan saya, seolah-olah televisi itu mampu mendengarkan saya. Saya puas setelah melampiaskan kemarahan saya di depan televisi. Tayangan kemudian berganti iklan, lantas sinetron. Saya marah-marah lagi karena saya paling benci sinetron yang ditayangkan televisi Indonesia. Rasionalkah saya?

            Mungkin saja pengalaman saya di atas merupakan satu contoh kecil dari sekian banyak contoh dari kegelisahan manusia ketika berhadapan dengan teknologi komunikasi. Kegelisahan saya sesungguhnya mengkristal dalam pertanyaan berikut, apakah kemajuan teknologi komunikasi menunjukkan kemenangan manusia (manusia menjadi seperti superman) atau justru manusia dikuasai (dijajah) oleh teknologi itu sendiri (teknologilah yang menjadi superteknologi)? Saya kemudian berikhtiar untuk berpikir tentang manusia di tengah arus kemajuan teknologi komunikasi melalui tulisan ini sebagai sebuah refleksi kritis filosofis dari kegelisahan akademik tersebut.
Ambiguitas Teknologis
            Berbicara tentang arus kemajuan teknologi komunikasi, kita tentu akan mengacu kepada pandangan dari berbagai ahli yang secara sadar ingin mengupas tentang sejauh mana pengaruh teknologi itu bagi manusia. Tentu saja ada banyak perspektif yang boleh disimak dari aneka konsep dan pendapat serta teori tentang komunikasi. Namun penulis ingin mengungkapkan bahwa dari sekian pandangan yang ada, secara common sense, penulis melihat adanya ambiguitas teknologis, artinya di satu sisi teknologi itu sebagai hasil cipta atau karsa manusia dan berguna bagi manusia, namun di sisi lain teknologi itu sebagai satu entitas (alter human) yang mampu mengirasionalkan manusia.
            Nah, tulisan ini sesungguhnya ingin merefleksikan sejauh mana manusia memposisikan dirinya atau bagaimana posisi yang tepat bagi manusia di tengah arus kemajuan teknologi komunikasi agar ia tidak terjebak dan terjerumus dalam dua tegangan dari ambiguitas teknologis tersebut. Sebab pada dasarnya manusia harus tahu posisinya yang jelas berhadapan dengan berbagai kemajuan dunia di antaranya kemajuan teknologi komunikasi. Karena secara filosofis, manusia akan mengalami “penderitaan” jika teralienasi oleh ambiguitas teknologis. Manusia seolah terus berjalan sambil “mengangkangi dua dunia”. Manusia secara etis-humanis harus mampu memilih yang terbaik bagi dirinya dan keturunannya. Untuk melengkapi refleksi atas diri manusia di tengah arus kemajuan teknologi komunikasi ini, kita sejenak melihat pendapat beberapa ahli yang secara metodis akademis telah membuat studi ilmiah perihal media dan teknologi komunikasi.
            Sandra Ball Rokeach dan  Melvin DeFleur misalnya menjelaskan pemanfaatan media sebagai alat dalam teori ketergantungan media (Media Dependency Theory). Menurut teori ini, orang menggunakan media dengan berbagai alasan. Media adalah alat yang dipakai untuk mendapatkan informasi, hiburan dan untuk membangun relasi sosial. Peran media menjadi sangat penting. Namun media tetap menjadi instrumen (alat) yang digunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya akan informasi, hiburan dan relasi sosial. (Dr. Alo Liliweri, M.S., Sumber : Honors : Communication Capstone Spring 2000, Theory Workbook).
            Lain lagi dengan apa yang dijelaskan oleh Byron Reeves dan Clifford Nass dalam Media Equation Theory (1996). Dalam teori tersebut mereka menjelaskan: “This theory predicts why people respond unconsciously and automatically to communication media as if it were human.” Teori ini memprediksikan bagaimana manusia pada suatu tahapan dalam membangun komunikasi akan secara tidak sadar dan spontan menganggap media seolah-olah sebagai manusia. Media bukan menjadi “alat” lagi tetapi seolah-olah menjadi seperti manusia (alter human).
            Marshall McLuhan pada tahun 1962 atau tiga dekade sebelum Byron Reeves dan Clifford Nass, mencoba untuk menjelaskan hubungan manusia dengan media komunikasi melalui Technological Determinism Theory.  Teori ini menjelaskan bahwa ketika terjadi perkembangan sistem teknologi yang baru, masyarakat dan budayanya pun akan berubah atau beradaptasi untuk dapat memanfaatkan teknologi baru tersebut. Tentu saja teori ini tidak berlaku pada masyarakat dan budaya yang vested interest-nya tinggi. Namun bagi masyarakat yang sudah maju sekalipun, menurut  teori ini ketergantungan pada teknologi belum sampai membawa manusia pada irasionalitas. Masih ada kesadaran kritis pada manusia atau masyarakat untuk berubah atau beradaptasi dalam memanfaatkan teknologi baru.
            Pandangan filosofis tentang perkembangan teknologi juga datang dari Karl Marx dan Martin Heidegger. Marx menghubungkan teknologi sebagai bagian dari produksi material yang diberikan kepada masyarakat guna memajukan aktivitas individual sebagai satu model kehidupan (mode of life). Marx dengan tegas menghubungkan teknologi dan budaya, dan menunjukkan teknologi menjadi sentral dari aktivitas kapitalis modern. Sementara itu pandangan filosofis tentang teknologi dari Martin Heidegger memberi batasan pada perdebatan tentang teknologi dan praksis sosial dari kaum Marxist pada dua hal penting. Pertama, Heidegger berpendapat bahwa definisi dari teknologi perlu dibatasi dari asosiasi atau pandangan umum sebagai obyek-obyek fisik atau alat-alat kepada suatu pemahaman pada asosiasi sosial praksis atau sistem pengetahuan, atau techniques (teknik). Kedua, Heidegger menawarkan bahwa modernitas dapat ditemukan pada bagian ontologi dari teknologi.  (Terry Flew, 2005 : 28-29).
Manusia, Dimanakah Kau Berada?
            Arus kemajuan teknologi komunikasi yang dahsyat menggugat kesadaran kritis kita untuk bertanya, dimanakah posisi manusia? Berkaitan dengan itu ada pendapat yang berkembang marak pada abad ke-20, yaitu ide tentang superman.
            Superman (bahasa Jerman: Übermensch) adalah manusia ideal menurut Nietzsche. Superman mengembangkan ketrampilannya secara penuh, memenuhi potensinya, dan merangkul kehidupan – kehidupan dalam badan – dengan segala gairah dan nafsunya. Superman mempunyai visi dan menggerakkan langit dan bumi untuk mencapai tujuannya. Übermensch dimaksudkan untuk membebaskan dan meningkatkan mutu hidup manusia dan bukannya untuk menginjak orang guna mencapai visi yang picik. Namun sayang konsep superman ini salah dimainkan oleh beberapa orang yang kemudian menjadi penguasa, seperti Hitler, Napoleon dan Julius Caesar. (Kevin O’Donnel, 2009 : 102).
            Dalam kaitan dengan posisi manusia di tengah arus kemajuan teknologi komunikasi, manusia hendaknya tetap menjadi subyek yang memiliki kesadaran kritis dan cerdas dalam memanfaatkan teknologi sebagai hasil cipta atau karsa manusia. Teknologi komunikasi sebagai hasil cipta atau karsa manusia dapat membantu manusia untuk hidup lebih baik dan memudahkan manusia untuk mencapai tingkat kesejahteraan dan kualitas hidup yang lebih baik.
            Akan tetapi posisi ideal seperti yang digambarkan di atas rasanya sulit untuk dipastikan jika kita melihat kenyataan yang terjadi. Kemajuan teknologi komunikasi yang sangat dahsyat telah “menyeret” manusia pada ketergantungan yang pada gilirannya akan mengirasionalkan manusia. Manusia bahkan bisa teralienasi dan seolah bermetamorfosis menjadi “robot”. Adakah Superman akan berubah menjadi superteknologi?
Penutup :
Kita Butuh Kesadaran Etis-Kritis
            Di tengah ketidakberdayaan manusia dan dominasi teknologi komunikasi yang kian dahsyat, kesadaran etis-kritis perlu digemakan oleh manusia terutama dari kalangan akademisi, agamawan, para kritikus, kaum humanis. Hal ini guna menjaga keseimbangan baik bagi manusia itu sendiri maupun bagi alter human yaitu alam, bumi dan segala isinya termasuk benda atau alat yang digunakan oleh manusia untuk terus hidup bersama ‘yang lain’ di dalam satu dunia yang sama.
            Berbagai pendapat yang sempat diangkat melalui refleksi ini tentu saja ingin memberikan kesadaran bahwa kita tidak pernah bisa menafikan adanya perkembangan teknologi komunikasi yang begitu cepat dan semakin canggih. Sikap yang tepat adalah menjaga kesadaran dan meningkatkan kemampuan untuk memahami cara atau teknik penggunaan teknologi komunikasi yang baru secara baik, strategis dan efektif.
            Hal tersebut di atas dirasakan penting karena sering terjadi di dunia, juga di Indonesia bahwa teknologi komunikasi dalam menjalankan fungsinya untuk mentransmisi pesan kepada publik tak jarang terjebak dalam “manipulasi kebenaran”. Penipuan atau manipulasi teknologi komunikasi yang dimainkan baik dalam media cetak, media elektronik yaitu media penyiaran dan cybermedia juga dipengaruhi oleh sistem dan aktor (manusia) yang memiliki kepentingan baik politis, eknomis maupun kepentingan sosial (kelompok, agama, etnis). Manipulasi seperti ini oleh Jean Baudrillard disebutnya sebagai hiper-realitas. (Kevin O’Donnel, 2009 : 45). Karena itu kesadaran etis-kritis tetap kita butuhkan[titik!]. Verba volant, scripta manent (kata-kata terbang menghilang, tulisan tinggal tetap), mudah-mudahan ada gunanya.***



Thursday, May 6, 2010

MEDIA DI TENGAH BADAI CENTURY


      
              Century Gate tidak luput dari bidikan media. Bahkan melalui media kasus ini menjadi terang   benderang disaksikan, didengar dan dibaca oleh publik di seluruh pelosok tanah air. Peran media sungguh besar dalam memotret kasus Bank Century yang kontroversif, bukan hanya soal kebijakan perbankan (economics area) tetapi juga telah memasuki wilayah kekuasaan (politics area). Hampir semua media massa di Indonesia baik cetak maupun elektronik menjadikan kasus Century sebagai topik hangat bahkan kian hangat untuk diperbincangkan. Tentu saja setiap media memiliki angle yang berbeda dalam memotret Century Gate. Namun kendati berbeda sudut pandang dari setiap media, Century Gate merupakan kasus terhangat di akhir tahun 2009 yang dapat dibedah dari perspektif sistem dan aktor.
Area publik menjadi sangat penting dan harus diperhitungkan oleh para aktor yang bercokol pada lingkaran penguasa dalam mengurai benang kusut kasus Century. Area publik memiliki sekian banyak aktor baik orang perseorangan dan kelompok (masyarakat bangsa, para demonstran mahasiswa dan juga para nasabah Bank Century yang dirugikan) maupun lembaga (institusi) seperti : LSM Kompak, Kontras, ICW, Bendera, Cicak (Cinta Indonesia Cinta Antikorupsi), BEM dari berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia dan berbagai organisasi massa (ORMAS) yang berhaluan nasionalis maupun agamais yang siap “turun” ke jalan-jalan untuk turut membongkar kasus Century ini.
Hampir semua media di tanah air memberitakan peristiwa ini, bahkan media juga sempat menampilkan beberapa insiden yang menjadi imbas dari hempasan badai Century. Sebut saja "perang" antara George Junus Aditjondro dan Ramadhan Pohan, anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat yang menambah keruhnya kasus Century. Semua harian besar di tanah air menjadikan kasus ini sebagai headline. Beberapa media jika dinilai secara subyektif oleh penulis masih  kurang “menggigit” (alias "netral" demi mencari posisi aman biar nyaman!). Metro TV dan TV berita lainnya senantiasa berikhtiar menyiarkan secara live. Publik di Indonesia "menonton" dengan asyiknya "badai" itu. Editorial Media Indonesia cukup kritis dan berani dalam mengupas kasus Century. TV-One juga menyajikan beberapa kali pemberitaan dan interview dengan menghadirkan beberapa aktor yang berkaitan erat dengan badai Century. Beberapa televisi swasta lainnya pun ikut  mengangkat kasus ini dalam pemberitaan. Beberapa radio siaran swasta seperti Elshinta dan 68H-Jakarta cukup gencar memberitakan Century Gate ini. Tentu masih banyak media yang tidak sempat disebutkan di sini kendati mereka juga turut berupaya mengangkat kasus Century ini.
 
                 Aktor lainnya yang tidak kalah pentingnya di antara para aktor baik di lingkaran penguasa maupun di area publik adalah pemilik Bank Century itu sendiri yakni Robert Tantular dan kroninya. Media perlu menjalankan manuvernya untuk terus berikhtiar dalam memotret para aktor pemilik dan pemegang saham serta nasabah besar Bank Century seperti Budi Sampoerna dan beberapa BUMN yang disinyalir juga menyimpan sejumlah besar uang pada Bank Century yang dianggap sebagai bank kecil itu. Selain itu para pakar ekonomi dan politik serta para lawyer (kuasa hukum) merupakan juga aktor-aktor yang perlu menjadi perhatian dalam pemberitaan media. Carut-marut Century Gate ini pun ditandai dengan “perang opini” di antara para ahli hukum dan para pakar ekonomi serta pakar politik di negeri ini. Perang opini masih terus berlanjut ditandai juga dengan munculnya tanggapan atas buku George Junus Aditjondro yang kontroversif itu. Pada Rabu, 6 Januari 2010, Setiyardi Negara, seorang mantan wartawan meluncurkan buku berjudul Hanya Fitnah dan Cari Sensasi, Goerge Revisi Buku sebagai tanggapan atas isi dan metodologi buku Membongkar Gurita Cikeas, Di Balik Skandal Bank Century. Sehari kemudian yaitu pada Kamis, 7 Januari 2010, Garda Maeswara meluncurkan juga bukunya yang berjudul Cikeas Menjawab sebagai tanggapan atas buku Aditjondro tersebut di atas. Skandal Bank Century kian panas oleh hingar-bingar perang opini. (Ditayangkan oleh Global TV pada Kamis, 7 Januari 2010).
                 Nah, di tengah carut-marut skandal Bank Century ini di manakah posisi media? Menurut saya media seolah berada di tengah badai Century. Dan untuk menjawab pertanyaan ini lebih lanjut, saya ingin mengutip pendapat Dr. Phil. Hermin Indah Wahyuni, S.IP., M.Si., yang dalam sebuah artikelnya berjudul “Relasi Media-Politik dalam Perspektif Teori Sistem : Pendekatan Alternatif untuk Kajian Sistem Media dan Sistem Politik di Indonesia”, mengatakan bahwa dalam masyarakat demokratis, sistem yang cocok adalah Teori Sistem Autopoesis dari Niklas Luhmann. Hal ini karena teori ini memberikan justifikasi yang sangat kuat bagi media massa sebagai “pengamat tingkat kedua” dalam fungsinya sebagai kontrol sosial dalam masyarakat. (Lihat hal. 14 artikel Dr. Phil. Hermin Indah Wahyuni, S.IP., M.Si., bahan kuliah Komunikasi : Perspektif  Sistem dan Aktor untuk mahasiswa pascasarjana FISIPOL Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Jogyakarta, 2009).
                 Tentu saja media massa baik cetak maupun elektronik tidak berada di ruang hampa. Media senantiasa berinteraksi dengan kenyataan faktual yang terjadi di masyarakat dan bangsa ini. Salah satu kenyataan faktual itu adalah “badai” Century yang masih belum berlalu hingga saat ini. Pada tataran ini media dituntut untuk bekerja secara profesional dan proporsional. 


                 Media hendaknya tidak bias oleh pengaruh kekuasaan di tingkat mana pun. Media juga hendaknya menjadi piranti yang mengontrol upaya penyelesaian kasus Century dan memberitakannya secara proporsional dan obyektif. Media menjadi “kekuatan keempat” (seperti yang disebut oleh Edmund Burke) di antara kekuatan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Untuk itu Dennis McQuail memberikan kita metafora dalam memahami posisi media di tengah badai seperti Century ini, yaitu media merupakan jendela (window) peristiwa dan pengalaman yang memperluas visi kita, memungkinkan kita melihat apa yang terjadi di luar kita tanpa campur tangan pihak lain. Media juga disebut McQuail sebagai cermin (mirror) dari peristiwa-peristiwa di masyarakat atau dunia, menyajikan refleksi yang bisa dipercaya. (bdk. Dhimam Abror Djuardi, 2009 : 1-2).
                 Media dalam kasus Century juga memiliki sistemnya sendiri yang dijalankan oleh para aktornya baik yang bekerja di lapangan (jurnalis, reporter) maupun yang bekerja pada newsroom (para pemimpin redaktur dan redaktur senior). Tentu saja sistem yang dimainkan oleh media adalah sistem yang mendasarkan pada kaidah-kaidah jurnalisme. Selain itu para aktor media juga memiliki  newsroom management yang dijalankan dengan standar teknikalitas untuk memenuhi kepentingan pragmatis (inner dan outer) dan implementasi dari azas etika dalam memproses fakta untuk menjadi informasi media. (bdk. Ashadi Siregar, 2009 : 4).
                 Peran media dalam memotret kasus Century sungguh terasa penting. Rakyat bangsa ini sangat membutuhkan informasi yang akurat seputar upaya menyelesaikan kasus ini. Memang dana bailout Bank Century sebesar  Rp 6,7 Trilyun tidaklah sebanding dengan kondisi rakyat miskin yang penghasilannya sangat jauh dari cukup. Beberapa media di Indonesia berikhtiar memotret kondisi kontradiktif dan ironis yang sering terjadi di negeri ini. Sebut saja Winem sang pengais beras di Pasar Kerawang, Jawa Barat sehari-harinya ia berjuang mengais butir-butir beras dari bak truk pengangkut beras di Pasar Kerawang. Sementara itu kemewahan demi kemewahan (seperti mobil mewah para menteri) selalu dinikmati para petinggi negeri ini ketika rakyatnya harus mengais butir-butir beras dan yang lainnya mati kelaparan. (Contoh ini diambil dari tayangan Metro TV, Rabu, 6 Januari 2010).
                 Hingga saat ini upaya untuk membongkar Century Gate masih berlangsung. Sidang demi sidang Panitia Khusus Angket Century di Gedung DPR-RI Jakarta kian hangat dan diwarnai juga dengan “pertengkaran” di antara para anggota Pansus. (Pada sidang Pansus Angket Century tanggal 6 Januari 2010, Gayus Lumbun dari Fraksi Partai PDI-Perjuangan selaku pimpinan sidang bertengkar sengit dengan Ruhut Sitompul, anggota Pansus Angket dari Fraksi Partai Demokrat). Seluruh warga bangsa ini turut menyaksikan jalannya sidang melalui berbagai media. Kita pun patut memberikan dukungan dan apresiasi yang wajar dan proporsional terhadap berbagai media di Indonesia baik cetak maupun elektronik yang terus meliput dan menyajikan berbagai perspektif dalam mencermati kasus Century ini. The show must go on! Kasus Century harus diusut tuntas, jangan kandas di tengah jalan alias “masuk angin”. Badai pasti berlalu dan perahu negeriku akan terus mengarungi lautan penuh gelombang menghantar rakyat bangsa ini menuju pelabuhan keadilan dan kesejahteraan.***

Read more »