SERTIFIKASI GURU
SERTIFIKASI GURU: MEMULIAKAN ATAU MEMBELENGGU?
Oleh : Jonas KGD Gobang
Peneliti pada Lembaga
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Nusa Nipa
Maumere - FLORES
“Terpujilah
wahai engkau/ ibu, bapak guru/ namamu akan selalu hidup/ dalam
sanubariku/’sbagai prasasti ‘trima kasihku/ ‘tuk pengabdianmu ….”
Penggalan
hymne guru tersebut di atas mengingatkan kita pada sosok dan jasa seorang guru
yang tiada taranya. Pengabdian seorang guru pantas dimuliakan oleh siapa pun
yang pernah mengenyam pendidikan, mulai dari pendidikan dasar, menengah hingga
pendidikan tinggi. Jasa guru tiada bandingannya. Ini menunjukkan betapa
pentingnya kehadiran seorang guru di tengah-tengah kehidupan bangsa. Kebesaran
sebuah bangsa juga ditentukan oleh sosok bersahaja seorang guru yang mengabdi
untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Guru adalah dia yang membuka tabir
kegelapan menjadi terang tatkala seorang anak didiknya dapat membaca, menulis
dan menghitung. Peradaban manusia terus berkembang dari masa ke masa juga
ditentukan oleh kehadiran dan pengabdian seorang guru. Guru, betapa besar
jasamu bagi kemajuan peradaban bangsa!
Profesi guru mendapat tempat
terhormat dan dimuliakan oleh masyarakat di semua wilayah tanah air. Predikat
guru yang disandangnya terus melekat erat hingga tutup usianya. Bahkan terus
dikenang sepanjang masa sosok dan pengabdiannya oleh anak-anak dan cucu peserta
didik. Guru di dalam struktur masyarakat tradisional menempati tempat
terhormat, bukan karena gajinya yang besar tetapi karena jasa dan pengabdiannya
yang tinggi. Gaji guru baik guru PNS
maupun swasta di masa lalu tergolong kecil jika dibandingkan dengan jasa dan
pengabdiannya. Belum lagi jika kita menengok guru-guru yang mengabdi di pelosok-pelosok
kampung yang terisolasi, memprihatinkan! Namun mereka tetap merasa terpanggil
untuk mengabdikan diri demi mencerdaskan anak-anak bangsa ini yang berada di
kampung-kampung terpencil tersebar dari Sabang sampai Marauke.
Penghargaan terhadap profesi guru
sesungguhnya bersifat universal bahkan sudah berlangsung sejak zaman nenek-moyang
kita. Baru pada tahun 1994, secara resmi UNESCO menetapkan tanggal 5 Oktober
sebagai Hari Guru Sedunia. Setiap negara di dunia juga memberikan tempat dan
waktu yang istimewa untuk memperingati jasa ibu dan bapak guru. Tidak
terkecuali Indonesia, sejak tahun 1994, menetapkan tanggal 25 November sebagai
peringatan Hari Guru, yang bertepatan
dengan tanggal berdirinya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Namun
peringatan Hari Guru di tanah air belum dijadikan hari libur nasional seperti
halnya di Singapura, setiap tanggal 1 September adalah peringatan hari guru dan
ditetapkan sebagai hari libur sekolah. Memang setiap negara berbeda dalam
mengapresiasi peran dan jasa guru. Satu hal yang pasti, peringatan hari guru
adalah bentuk penghargaan terhadap guru, juga termasuk melalui pemberian upah
yang layak bagi profesi tersebut.
Laporan The Guardian
menyebutkan bahwa dari 30 negara yang menjadi anggota OECD (Organisation
for Economic Co-operation and Development), Swiss adalah negara yang
memberikan upah guru terbesar, yaitu US$ 68.820 pertahun atau sekitar Rp 837
juta/tahun. Gaji guru di negara ini lebih tinggi dari rata-rata gaji para pekerja
di negara tersebut, yaitu sekitar US$ 50.000 pertahun. Selain Swiss,
negara-negara seperti Jerman, Belanda dan Belgia memberikan porsi gaji yang
sangat tinggi bagi para gurunya. Negara kita, Indonesia memberikan porsi gaji
guru rata-rata hanya US$ 2.830 atau sekitar Rp 34,4 juta per tahun. Itu berarti
bahwa seorang guru honorer di daerah terpencil sudah sangat beruntung jika
memperoleh upah rata-rata sebesar Rp 1 juta per bulan. Hal ini tentu saja tidak
sebanding dengan jasa dan pengorbanan yang diberikan oleh seorang guru di
daerah terpencil. Profesi guru tetap merupakan hal yang vital, karena berfungsi
untuk mencerdaskan anak-anak bangsa.
Program Sertifikasi Guru di
Indonesia dimulai setelah ditetapkannya UU Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang mewajibkan seluruh guru disertifikasi
dan diharapkan tuntas sebelum 2015. Upaya ini semata-mata dimaksudkan untuk
meningkatkan kemampuan profesional guru, yang selanjutnya akan berdampak pada
peningkatan mutu pendidikan nasional secara keseluruhan. Sejak tahun 2005,
guru-guru telah diseleksi untuk mengikuti program sertifikasi berdasarkan
kualifikasi akademik, senioritas, dan golongan kepangkatan, seperti harus
berpendidikan S-1 dan jumlah jam mengajar 24 jam per minggu. Indikator ini
digunakan untuk memperhatikan kompetensi pedagogis, kepribadian, sosial, dan
emosional mereka. Pertanyaannya, apakah program sertifikasi guru ini berhasil?
Apakah kualitas guru di Indonesia dapat dimuliakan dengan gaji dan tunjangan
sertifikasi ataukah guru justru dibelenggu oleh berbagai kriteria administratif
yang harus dipenuhinya?
Bank Dunia pada
14 Maret 2013, meluncurkan publikasi: ”Spending More or Spending Better:
Improving Education Financing in Indonesia” yang menunjukkan bahwa para guru yang telah
memperoleh sertifikasi dan yang belum ternyata menunjukkan prestasi yang
relatif sama. Hasil tes antara siswa yang diajar guru yang bersertifikasi dan
yang tidak untuk mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, serta IPA dan
Bahasa Inggris diperbandingkan. Hasilnya, tidak terdapat pengaruh program
sertifikasi guru terhadap hasil belajar siswa, baik di SD maupun SMP. Program
sertifikasi guru belum memberikan dampak terhadap perbaikan mutu pendidikan
nasional. Pada tahun 2010 saja biaya sertifikasi telah mencapai Rp 110 triliun.
Sungguh sebuah angka yang fantastik namun tidak sebanding dengan dampak
peningkatan kualitas guru.
Program
sertifkasi guru yang sepatutnya dapat memuliakan profesi para guru di tanah air
justru terjebak pada pola formalitas penyelenggaraan program sertifikasi yang
membelenggu para guru. Banyak dari antara para guru yang mengikuti program
sertifikasi terpaksa harus meninggalkan jam pelajaran dan anak didiknya demi
mengurus berkas-berkas (porto folio)
administrasi. Para guru dari desa dan kampung-kampung terpencil, seperti di
wilayah NTT harus meluangkan waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu untuk
mengurus kelengkapan administratif di ibukota kecamatan atau kabupaten dengan
jarak dan waktu tempuh yang tergolong panjang dan lama. Keluhan-keluhan pun
terlontar dari mulut para guru yang berjuang mati-matian demi mendapatkan
tunjangan sertifikasi guru yang menggiurkan itu. Alhasil, seluruh hari-harinya
diabdikan untuk urusan administratif semata sedangkan anak-anak didiknya
menunggu tak menentu di kelas-kelas mereka yang riuh rendah akibat guru tidak
masuk karena harus ke kota mengurus berkas sertifikasi. Ini memang tuntutan
yang harus dipenuhi namun cenderung jatuh pada pola formalitas birokrasi
belaka.
Program
sertifikasi guru sesungguhnya berkiblat kepada upaya memuliakan profesi guru
yang berkaitan langsung dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Program ini
pun harus berbasis pada peningkatan mutu belajar-mengajar di kelas sebagai
akibat langsung dari kriteria kualifikasi guru sebagai bentuk capaian dari
program sertifikasi guru tersebut. Kita berharap semua pihak baik pemerintah
maupun pihak swasta yang terkait dengan pendidikan dasar dan menengah mempunyai
komitmen yang tinggi untuk terus memperbaiki pelaksanaan program sertifikasi
guru. Komitmen tersebut diwujudkan dengan memperbaiki sistem dan regulasi serta
pelaksanaan dan evaluasi program tersebut. Sebab profesionalisme guru diharapkan berdampak pada peningkatan mutu,
kreativitas, dan kinerja guru demi meningkatkan kualitas pendidikan di tanah
air. Jika demikian maka terpujilah
wahai engkau, ibu-bapak guru…! ***