Jonas Gobang

Thursday, April 9, 2015

SERTIFIKASI GURU



SERTIFIKASI GURU: MEMULIAKAN ATAU MEMBELENGGU?

Oleh : Jonas KGD Gobang


Peneliti pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Nusa Nipa Maumere - FLORES


Terpujilah wahai engkau/ ibu, bapak guru/ namamu akan selalu hidup/ dalam sanubariku/’sbagai prasasti ‘trima kasihku/ ‘tuk pengabdianmu ….
 
            Penggalan hymne guru tersebut di atas mengingatkan kita pada sosok dan jasa seorang guru yang tiada taranya. Pengabdian seorang guru pantas dimuliakan oleh siapa pun yang pernah mengenyam pendidikan, mulai dari pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan tinggi. Jasa guru tiada bandingannya. Ini menunjukkan betapa pentingnya kehadiran seorang guru di tengah-tengah kehidupan bangsa. Kebesaran sebuah bangsa juga ditentukan oleh sosok bersahaja seorang guru yang mengabdi untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Guru adalah dia yang membuka tabir kegelapan menjadi terang tatkala seorang anak didiknya dapat membaca, menulis dan menghitung. Peradaban manusia terus berkembang dari masa ke masa juga ditentukan oleh kehadiran dan pengabdian seorang guru. Guru, betapa besar jasamu bagi kemajuan peradaban bangsa!

            Profesi guru mendapat tempat terhormat dan dimuliakan oleh masyarakat di semua wilayah tanah air. Predikat guru yang disandangnya terus melekat erat hingga tutup usianya. Bahkan terus dikenang sepanjang masa sosok dan pengabdiannya oleh anak-anak dan cucu peserta didik. Guru di dalam struktur masyarakat tradisional menempati tempat terhormat, bukan karena gajinya yang besar tetapi karena jasa dan pengabdiannya yang tinggi.  Gaji guru baik guru PNS maupun swasta di masa lalu tergolong kecil jika dibandingkan dengan jasa dan pengabdiannya. Belum lagi jika kita menengok guru-guru yang mengabdi di pelosok-pelosok kampung yang terisolasi, memprihatinkan! Namun mereka tetap merasa terpanggil untuk mengabdikan diri demi mencerdaskan anak-anak bangsa ini yang berada di kampung-kampung terpencil tersebar dari Sabang sampai Marauke.
            Penghargaan terhadap profesi guru sesungguhnya bersifat universal bahkan sudah berlangsung sejak zaman nenek-moyang kita. Baru pada tahun 1994, secara resmi UNESCO menetapkan tanggal 5 Oktober sebagai Hari Guru Sedunia. Setiap negara di dunia juga memberikan tempat dan waktu yang istimewa untuk memperingati jasa ibu dan bapak guru. Tidak terkecuali Indonesia, sejak tahun 1994, menetapkan tanggal 25 November sebagai peringatan  Hari Guru, yang bertepatan dengan tanggal berdirinya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Namun peringatan Hari Guru di tanah air belum dijadikan hari libur nasional seperti halnya di Singapura, setiap tanggal 1 September adalah peringatan hari guru dan ditetapkan sebagai hari libur sekolah. Memang setiap negara berbeda dalam mengapresiasi peran dan jasa guru. Satu hal yang pasti, peringatan hari guru adalah bentuk penghargaan terhadap guru, juga termasuk melalui pemberian upah yang layak bagi profesi tersebut.
            Laporan The Guardian menyebutkan bahwa dari 30 negara yang menjadi anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development), Swiss adalah negara yang memberikan upah guru terbesar, yaitu US$ 68.820 pertahun atau sekitar Rp 837 juta/tahun. Gaji guru di negara ini lebih tinggi dari rata-rata gaji para pekerja di negara tersebut, yaitu sekitar US$ 50.000 pertahun. Selain Swiss, negara-negara seperti Jerman, Belanda dan Belgia memberikan porsi gaji yang sangat tinggi bagi para gurunya. Negara kita, Indonesia memberikan porsi gaji guru rata-rata hanya US$ 2.830 atau sekitar Rp 34,4 juta per tahun. Itu berarti bahwa seorang guru honorer di daerah terpencil sudah sangat beruntung jika memperoleh upah rata-rata sebesar Rp 1 juta per bulan. Hal ini tentu saja tidak sebanding dengan jasa dan pengorbanan yang diberikan oleh seorang guru di daerah terpencil. Profesi guru tetap merupakan hal yang vital, karena berfungsi untuk mencerdaskan anak-anak bangsa.
            Program Sertifikasi Guru di Indonesia dimulai setelah ditetapkannya UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang mewajibkan seluruh guru disertifikasi dan diharapkan tuntas sebelum 2015. Upaya ini semata-mata dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan profesional guru, yang selanjutnya akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan nasional secara keseluruhan. Sejak tahun 2005, guru-guru telah diseleksi untuk mengikuti program sertifikasi berdasarkan kualifikasi akademik, senioritas, dan golongan kepangkatan, seperti harus berpendidikan S-1 dan jumlah jam mengajar 24 jam per minggu. Indikator ini digunakan untuk memperhatikan kompetensi pedagogis, kepribadian, sosial, dan emosional mereka. Pertanyaannya, apakah program sertifikasi guru ini berhasil? Apakah kualitas guru di Indonesia dapat dimuliakan dengan gaji dan tunjangan sertifikasi ataukah guru justru dibelenggu oleh berbagai kriteria administratif yang harus dipenuhinya?
            Bank Dunia pada 14 Maret 2013, meluncurkan publikasi: ”Spending More or Spending Better: Improving Education Financing in Indonesia” yang  menunjukkan bahwa para guru yang telah memperoleh sertifikasi dan yang belum ternyata menunjukkan prestasi yang relatif sama. Hasil tes antara siswa yang diajar guru yang bersertifikasi dan yang tidak untuk mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, serta IPA dan Bahasa Inggris diperbandingkan. Hasilnya, tidak terdapat pengaruh program sertifikasi guru terhadap hasil belajar siswa, baik di SD maupun SMP. Program sertifikasi guru belum memberikan dampak terhadap perbaikan mutu pendidikan nasional. Pada tahun 2010 saja biaya sertifikasi telah mencapai Rp 110 triliun. Sungguh sebuah angka yang fantastik namun tidak sebanding dengan dampak peningkatan kualitas guru.
            Program sertifkasi guru yang sepatutnya dapat memuliakan profesi para guru di tanah air justru terjebak pada pola formalitas penyelenggaraan program sertifikasi yang membelenggu para guru. Banyak dari antara para guru yang mengikuti program sertifikasi terpaksa harus meninggalkan jam pelajaran dan anak didiknya demi mengurus berkas-berkas (porto folio) administrasi. Para guru dari desa dan kampung-kampung terpencil, seperti di wilayah NTT harus meluangkan waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu untuk mengurus kelengkapan administratif di ibukota kecamatan atau kabupaten dengan jarak dan waktu tempuh yang tergolong panjang dan lama. Keluhan-keluhan pun terlontar dari mulut para guru yang berjuang mati-matian demi mendapatkan tunjangan sertifikasi guru yang menggiurkan itu. Alhasil, seluruh hari-harinya diabdikan untuk urusan administratif semata sedangkan anak-anak didiknya menunggu tak menentu di kelas-kelas mereka yang riuh rendah akibat guru tidak masuk karena harus ke kota mengurus berkas sertifikasi. Ini memang tuntutan yang harus dipenuhi namun cenderung jatuh pada pola formalitas birokrasi belaka.
            Program sertifikasi guru sesungguhnya berkiblat kepada upaya memuliakan profesi guru yang berkaitan langsung dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Program ini pun harus berbasis pada peningkatan mutu belajar-mengajar di kelas sebagai akibat langsung dari kriteria kualifikasi guru sebagai bentuk capaian dari program sertifikasi guru tersebut. Kita berharap semua pihak baik pemerintah maupun pihak swasta yang terkait dengan pendidikan dasar dan menengah mempunyai komitmen yang tinggi untuk terus memperbaiki pelaksanaan program sertifikasi guru. Komitmen tersebut diwujudkan dengan memperbaiki sistem dan regulasi serta pelaksanaan dan evaluasi program tersebut. Sebab profesionalisme guru diharapkan berdampak pada peningkatan mutu, kreativitas, dan kinerja guru demi meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air. Jika demikian maka terpujilah wahai engkau, ibu-bapak guru…! ***

           

DARURAT KORUPSI



DARURAT KORUPSI: KITA HARUS BUAT APA ?

Oleh : Jonas KGD Gobang


Peneliti pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Nusa Nipa Maumere - FLORES



            Pemberantasan korupsi tidak bisa dijalankan dengan hanya berpangku tangan. Pemberantasannya menjadi agenda serius. Kita dapat belajar dari negeri jiran Singapura  yang telah membuktikan bahwa mereka dapat mengatasi masalah korupsi. Tingkat korupsi di Singapura termasuk terkecil di dunia. Lembaga pembarantasan korupsinya bekerja efektif  baik di sektor pemerintah maupun di sektor swasta. Di Indonesia, korupsi menjadi isu penting bahkan kini berada pada level darurat korupsi.  Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru menghadapi berbagai bentuk tantangan dan ancaman pelemahan. KPK tentu saja tidak mampu bekerja efektif  jika benar terjadi kriminalisasi.  Korupsi di Indonesia menjadi masalah besar dan termasuk bentuk kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) yang kian merebak dari pusat hingga ke semua wilayah di tanah air Indonesia. Bahkan dana MCK untuk masyarakat korban bencana alam pun dikorup. Ironis, bukan?
            Lebih ironis lagi, parlemen dan kepolisian menempati peringkat tertinggi korupsi. Lihat saja, seorang tersangka korupsi tetap saja diproses oleh DPR menjadi calon Kepala Polisi RI. Fakta ini dengan logika yang sederhana dapat dikatakan sebagai upaya pelemahan tindakan pemberantasan korupsi di Indonesia. Para politisi di parlemen selalu berdalih bahwa fakta tersebut adalah persoalan hukum sehingga DPR tetap ngotot agar Presiden Jokowi melantik Komjen Budi Gunawan menjadi Kapolri.
            Edwin H. Sutherland berpendapat bahwa korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai white-collar crime atau kejahatan kaum berdasi. Kejahatan ini menurut Sutherland, secara sosiologis setara dengan kejahatan konvensional seperti pencurian, penipuan, perampokan, dan pembunuhan walaupun kejahatan tersebut memiliki cakupan yang luas meliputi kejahatan di lingkungan profesi, seperti usahawan, pedagang, dokter, ahli hukum, politisi, dan pejabat publik.
            Seorang koruptor atau tersangka koruptor di Indonesia sekian sering mencari pembenaran atas perilaku korupnya (teknik menetralisasi perilaku penyimpangan) melalui upaya pemanfaatan terhadap kelemahan aturan hukum yang berlaku atau pemanfaatan aturan-aturan hukum tersebut sebagai dasar pembenaran perilakunya. Tindakan ini selalu mendapat dukungan dari para kroninya. Korupsi bila dikaji secara teoritik (kriminologis) merupakan perwujudan dari kejahatan yang dilakukan dalam hubungannya dengan pekerjaan yang sah dan melibatkan penyalahgunaan jabatan. Salah satu sanksi kemasyarakatan terhadap kejahatan korupsi adalah pemberian rasa malu (shaming) kepada si pelaku korupsi. Pemberian rasa malu (shaming) akan berjalan efektif apabila di seluruh lapisan masyarakat terdapat budaya anti korupsi, kolusi dan nepotisme.
            Darurat korupsi di Indonesia diafirmasi oleh sebuah hasil riset yang menunjukkan bahwa terdapat fenomena yang disebut sebagai kapitalisasi Pemilu. Setiap terjadi pemilihan para pejabat publik, seperti bupati, gubernur bahkan parlemen selalu terjadi transaksi uang milyaran rupiah. Angka yang paling sering disebut adalah Rp 3 milyar. Konsekuensi negatif dari kapitalisasi ini adalah calon yang terpilih berhasrat mengembalikan modal yang sudah mereka keluarkan dengan cara yang tidak sah atau melanggar hukum. Penelitian ini berkesimpulan bahwa terdapat relasi antara perilaku korupsi para pejabat publik dengan jumlah uang yang dikeluarkan oleh para calon ketika mereka menjalani proses pemilihan. Lemahnya aturan bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi dan bahkan mendorong seorang pejabat publik melakukan tindak korupsi. Faktor-faktor lain, seperti lemahnya fungsi rekruitmen partai politik dan perilaku tidak pernah puas dan terdorong untuk melakukan tindak pidana korupsi.
            Enoh Tanjong seorang peneliti asal Kamerun menulis kajiannya tentang media melawan korupsi di Kamerun, Afrika dengan judul “Media Fight Against Corruption in Cameroon: Public Assesment”. Penelitian Tanjong juga menyebutkan bahwa media massa di Kamerun memiliki fungsinya yang ideal untuk mengontrol (watchdog) apa yang terjadi dalam masyarakat. Media massa di Kamerun, salah satu negara di Afrika dengan tingkat korupsi yang tinggi, telah menjalankan perannya melawan praktik korupsi dengan program antikorupsi. Jadi media massa di Kamerun secara sadar menanamkan ideologi antikorupsi melalui program produksinya.
            Media massa tidak hanya menanamkan kesadaran bagi warganya untuk antikorupsi, mengetahui sebab dan konsekuensi dari tindak korupsi, tetapi juga media massa menyajikan hasil investigasi dan menurunkan laporan tentang bahaya-bahaya akibat korupsi. Banyak politisi dan birokrat yang diberitakan media mengalami kehilangan pekerjaan akibat korupsi. Media massa di Kamerun melakukan rekonstruksi atas peristiwa korupsi menjadi berita yang dapat mempengaruhi opini publik.
            Di Indonesia banyak aturan yuridis (seperti UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Pencegahan dan Penindakan Tindak Pidana Korupsi) yang dibuat untuk mencegah orang dan menghukum para koruptor nampaknya belum menunjukkan hasil yang optimal. Korupsi masih terus terjadi di negeri ini. Korupsi tidak hanya dilakukan secara perorangan, tetapi sudah membentuk sistem persekongkolan orang-orang korup. Akibatnya dapat menghambat kemajuan mentalitas maupun institusi-institusi yang menopang masyarakat, dan menghambat gairah partisipasi rakyat untuk terlibat dalam proses pembangunan.
            Kalau kita mau berbuat sesuatu untuk mencegah korupsi di Indonesia, tidak cukup hanya dengan menulis atau nge-twit #SaveKPK saja, nanti kita dapat dibilang NATO (No action, talk only). Kita harus berbuat sesuatu mulai dengan diri kita sendiri untuk berani jujur, tidak mencuri uang atau menggelapkan harta milik orang apalagi milik negara.
Korupsi itu sama dengan sindiran Karl Marx sebagai “ironi yang paling nikmat”. Marx yang pernah menjadi wartawan Rheinische Zeitung telah melancarkan kritik pedasnya kepada kaum borjuis, terpesona dengan tokoh Frenhofer dalam novel yang  ditulis oleh Honoré de Balzac berjudul “Mahakarya Tak Dikenal”. Bahwa bila sebuah zaman cuma bisa menunjukkan adanya chaos (baca: korupsi) maka dapat ditemukan makna dan solusinya di zaman kemudian. Apakah kita harus menunggu lagi untuk tidak korup?***