Jonas Gobang

Friday, October 16, 2009

MENGGAGAS PENDIDIKAN TINGGI YANG BERMUTU

MENGGAGAS PENDIDIKAN TINGGI YANG BERMUTU DALAM KONTEKS UNIVERSITAS NUSA NIPA SEBAGAI UPAYA PEMBEBASAN UMAT DAN BANGSA
Oleh : Jonas Klemens G.D. Gobang*)

            Salah satu tujuan negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya. Perguruan tinggi berperan memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Mutu pendidikan yang baik akan menciptakan lulusan yang memiliki keterampilan hidup yang mampu mengenal dan mengatasi masalah diri dan lingkungannya.
            Untuk mencapai tujuan tersebut, maka setiap perguruan tinggi harus selalu meningkatkan kualitasnya, sehingga mampu menghasilkan lulusan yang mempunyai daya saing yang kuat baik di level lokal maupun nasional. Peningkatan daya saing lulusan tidak dapat ditawar-tawar karena setiap negara harus siap menghadapi globalisasi, dimana tidak ada batas antar lulusan perguruan tinggi di dunia. Jika tidak siap, maka lulusan perguruan tinggi di suatu negara tidak mampu bersaing dengan lulusan luar negeri. Untuk mampu menghasilkan lulusan bermutu tinggi, maka setiap perguruan tinggi harus senantiasa memperbaiki mutu organisasinya.
Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, Ditjen Dikti mengeluarkan kebijakan baru yaitu setiap perguruan tinggi dalam pengembangannya harus mengacu kepada Higher Education Long Term Strategy (HELTS) 2003-2010 dan paradigma baru pengelolaan perguruan tinggi. Kebijakan Ditjen Dikti tersebut menyebutkan adanya tiga komponen dasar yang strategis yaitu daya saing bangsa, kesehatan organisasi dan otonomi. Ketiga komponen dasar ini saling terkait satu sama lain, sehingga dalam pengembangan perguruan tinggi ketiganya tidak dapat dipisah-pisahkan.
Tulisan ini merupakan refleksi dalam menggagas pendidikan tinggi yang bermutu dalam konteks Universitas Nusa Nipa Maumere sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi yang masih tergolong baru dalam kiprahnya membangun masyarakat Flores. Sebagai sebuah refleksi tentu saja gagasan ini belum lengkap namun boleh menjadi titik tolak pemikiran untuk menemukan orientasi berpikir untuk sebuah konsep pendidikan yang membebaskan. Tentu saja ini adalah ruang diskursus yang boleh digunakan untuk menemukan jawaban atas berbagai pertanyaan kritis tentang bagaimana menggagas pendidikan tinggi yang bermutu itu.

Ikhtiar Unipa di Awal Kiprahnya

 Universitas Nusa Nipa (UNIPA) terus melakukan beberapa pembenahan dalam upaya peningkatan efisiensi kelembagaan sejak resmi berdiri tanggal 26 Mei 2005 dan mulai menjalankan aktivitas operasional akademisnya sejak 19 September 2005.
Pembenahan di bidang kelembagaan ini didasarkan pada tiga pertimbangan. Pertama, Ditjen Dikti Depdiknas melalui HELTS menetapkan strategi jangka panjang antara lain menciptakan kesehatan kelembagaan. Kedua, efisiensi kelembagaan merupakan salah satu isu yang menjadi wacana bagi penyempurnaan rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Tinggi. Ketiga, efisiensi kelembagaan merupakan tuntutan nyata yang sesuai dengan potensi dan kebutuhan perguruan tinggi, stakeholder dan pengguna jasa. Peningkatan efisiensi kelembagaan ini akan bermuara pada efisiensi produktivitas lulusan. Peningkatan efisiensi tentunya harus disertai oleh peningkatan daya saing lulusan UNIPA.
Upaya peningkatan daya saing lulusan dapat dianalisis dari upaya perbaikan PBM, kompetensi dosen, ekstrakurikuler dan peningkatan sarana dan prasarana yang dibutuhkan.  Disamping itu, perlu adanya evaluasi pembelajaran matakuliah khususnya bahasa Inggris dan aplikasi komputer serta matakuliah-matakuliah yang menunjang keahlian lulusan. UNIPA juga telah berupaya menata organisasinya untuk meningkatkan daya saing institusi. Dengan demikian,  hasil pendidikan di Universitas Nusa Nipa diharapkan dapat  membentuk lulusan yang mempunyai bukan saja mutu intelektual tetapi juga watak, moral, sosial dan fisik, atau dengan kata lain lulusan UNIPA cerdas secara komprehensif, yang meliputi cerdas spiritual,  emosional,  sosial dan  kinestetis.
Bagaimana UNIPA mampu menciptakan mutu pendidikan tinggi yang baik sehingga menciptakan lulusan yang memiliki keterampilan hidup yang mampu mengenal dan mengatasi masalah diri dan lingkungannya sebagai upaya pembebasan umat dan bangsa?
Pendidikan tinggi pada hakekatnya merupakan upaya sadar untuk meningkatkan kadar ilmu pengetahuan dan pengamalan bagi mahasiswa dan lembaga di mana upaya itu bergulir menuju sasaran - sasaran pada tujuan yang ditetapkan. Dalam sejarah perjalanan pendidikan tinggi, upaya tersebut tidak berjalan di atas lajur - lajur yang licin yang bebas hambatan dan rintangan.
            Perguruan tinggi sebagai lembaga merupakan komunitas hidup dinamik dalam perannya menumbuh-dewasakan kadar intelektual, emosional dan spiritual para mahasiswa, bergumul dengan nilai - nilai kehidupan kemasyarakatan, mengejar dan mendiseminasikan pengetahuan sebagai pengabdian bagi kemajuan masyarakat. Dalam posisi dan perannya ini lembaga pendidikan tinggi merupakan sumur ditimbahnya kebajikan dan keahlian  dan bukan menara gading yang merupakan monumen mati sebagai simbol belaka.
            Lembaga pendidikan tinggi menjadi benteng kebenaran dan kejujuran ilmiah yang memancarkan potensi prestasinya kepada lingkungan masyarakat di sekitarnya bahkan bagi umat manusia.         
            Tujuan pendidikan tinggi pada dasarnya hendak turut memelihara keseimbangan wacana kehidupan sistem kelembagaan masyarakat yang hakekatnya berarah ganda menuju kadar intelektual meningkat dan kedewasaan moral dimana diperlukan pendekatan khusus untuk penyelesaian permasalahannya.
            Dalam menghadapi permasalah pembangunan, pendidikan tinggi tidak sekedar proaktif berpartisipasi dalam pembangunan meterial jangka pendek, harus berpegang teguh pada berbagai keyakinan yang secara fundamental memberikan watak pada misi pendidikan tinggi, yaitu perhatian yang mendalam pada etika dan moral yang luhur.
            Di dalam keterpurukan yang berlarut hingga dewasa ini, disadari bahwa permasalah utamanya adalah moral dan tatanan moral masyarakat. Ini dapat dilihat dari ketidaktaatan terhadap aturan baku yang telah disepakati bersama, aturan sering dikesampingkan demi kepentingan sesaat. Oleh karena itu urgensi misi pendidikan tinggi ke depan adalah memperbaiki tatanan moral masyarakat, pendidikan tinggi harus memandang tatanan moral sebagai bagian dari mata rantai usaha pendidikan bangsa, pada hakekatnya merupakan proses regenerasi moral yang luhur.

Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan

            Universitas dalam kiprahnya dapat ditengarai sebagai praktik pembebasan. Melalui gagasan universitas sebagai praktik pembebasan, penulis ingin mengangkat konteks Universitas Nusa Nipa. Sudah sejauh mana Universitas Nusa Nipa memainkan peranannya dalam upaya pembebasan umat dan bangsa? Bentuk pembebasan macam manakah yang diupayakan oleh Universitas Nusa Nipa?
            Universitas Nusa Nipa dalam kiprahnya sebagai praktik pembebasan harus bisa merangsang mahasiswa/inya untuk berpikir, aktif, kreatif, inisiatif, berani bertindak, inovatif, investigatif serta merangsang respon dan jawaban dari suatu realitas yang terjadi. Dengan demikian tujuan pendidikan tinggi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan mampu “membebaskan” umat dan bangsa dari belenggu kemiskinan bisa terwujud.
            Edward Shils menggariskan bahwa kewajiban etis utama sebuah universitas pada dasarnya bersifat epistemologis. Kewajiban utama universitas pada hakikatnya adalah kewajiban yang berhubungan dengan kebenaran, yakni kewajiban untuk mengajarkan kebenaran dan untuk terus mengupayakan kebenaran dalam pengetahuan (Edward Shils, Etika Akademis, sebuah terjemahan Indonesia oleh Alois A. Nugroho atas Academic Ethic, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1993, hal.1).
            Universitas Nusa Nipa mempunyai tugas khas, yaitu menemukan dengan menggunakan metode ilmiah dan mengajarkan kebenaran-kebenaran tentang hal-hal yang serius dan penting. Salah satu tugas itu berbentuk kewajiban untuk membekali para mahasiswa dengan pelbagai sikap dan metode yang membuat mereka dapat mengkaji dan menguji secara kritis kepercayaan-kepercayaan mereka sehingga apa yang dipercayai itu dapat dibebaskan dari kekeliruan dan kesesatan.
            Berbeda dengan Edward Shils, Habermas menggariskan tugas universitas tidak dengan pintu masuk epistemologi, melainkan dengan pintu masuk ekonomi. Ini artinya, tugas utama universitas berupa pengajaran dan penelitian itu sudah sejak awalnya berhubungan dengan fungsi-fungsi dalam proses ekonomis. Tugas utama universitas untuk mengajar dan meneliti bahkan sudah dibahasakan oleh Jürgen Habermas sebagai mengajarkan pengetahuan yang secara teknis dapat dimanfaatkan (to transmit technically exploitable knowledge) dan memproduksi pengetahuan yang secara teknis dapat dimanfaatkan (to produce technically exploitable knowledge). (Bagian tentang pandangan Habermas mengenai universitas ini mendasarkan diri pada studi atas esei Jürgen Habermas yang diterjemahkan oleh Jeremy Shapiro, “The University in a Democracy: Democratization of the University dalam Toward a Rational Society, London: Heineman, 1980, hal.3).
            Dengan mengajarkan pengetahuan yang dapat diterapkan secara teknis artinya Universitas Nusa Nipa perlu menjawab kebutuhan masyarakat industri akan generasi-generasi baru yang terdidik dan berkualitas serta pada saat yang sama Universitas Nusa Nipa perlu menyibukkan diri dengan penyebarluasan dan reproduksi pendidikan itu sendiri. Dengan memproduksi pengetahuan yang dapat dieksploitasi secara teknis dimaksudkan dua hal :
1.      Dari Penenlitian-penelitiannya, Universitas Nusa Nipa dapat menyumbangkan pelbagai teknik yang dapat dipetik manfaatnya oleh dunia industri dan para stakeholder lainnya demi kesejahteraan umat dan bangsa.
2.      Pengetahuan-pengetahuan yang dikembangkannya dapat menjadi bahan konsultasi bagi strategi administrasi, baik administrasi publik maupun administrsai bisnis, serta kekuatan-kekuatan lain yang perlu sering mengambil keputusan.
            Whitehead juga sepakat bahwa tugas utama universitas adalah mengajar dan meneliti. Ia menulis, “The universities are schools of education and schools of research”. (Bagian tentang pandangan Whitehead mengenai universitas mendasarkan diri pada studi atas esei Alfred North Whitehead, “The Universities and Their Function” dalam The Aims of Education, New York: The Macmillan Company, 1929, hal, 91-101). Namun demikian, menurut Whitehead, alasan bagi keberadaan sebuah universitas adalah lebih dari sekedar mengajar dan meneliti. Mahasiswa sesungguhnya dapat belajar sendiri dari buku-buku serta meneliti lewat magang pada peneliti yang sudah berpengalaman, tanpa harus melalui sebuah universitas. Baginya, justification atau alasan keberadaan sebuah universitas ialah menjaga adanya hubungan antara pengetahuan (knowledge) dan gairah kehidupan (the zest of life) dengan cara mempertemukan orang-orang muda dan orang-orang tua dalam proses belajar yang imajinatif.
            Universitas Nusa Nipa wajib mengusahakan agar petualangan intelektual (intellectual adventures) tidak berhenti dimakan keletihan, melainkan terus berkelana ke ranah-ranah yang belum dikenal. Namun kelana intelektual itu tidak sekadar berjalan membabibuta, melainkan dipandu oleh pengetahuan dan disiplin yang ditimba dari pengalaman hidup. Dengan demikian Universitas Nusa Nipa merupakan lembaga pendidikan tinggi yang mencerminkan the zest of life atau the art of life dalam evolusi semesta, yakni mempertahankan hidup (to keep alive), hidup sejahtera (to live well) dan hidup lebih baik (to live better). Universitas Nusa Nipa hendaknya berpartisipasi dalam evolusi kehidupan yang membebaskan alam semesta dari  keruntuhan fisik, atau setidaknya menunda datangnya keruntuhan semesta itu.***(dari berbagai sumber. Penulis dosen Unipa, sedang menyelesaikan studi pada Program Magister Komunikasi FISIPOL UGM, Jogyakarta)




0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home