Jonas Gobang

Saturday, September 5, 2009

MENGGAGAS INDONESIA BARU

MENGGAGAS INDONESIA BARU
Refleksi 64 Tahun Indonesia Merdeka
Oleh : Jonas Gobang
Jasmerah! Kata Bung Karno, Proklamator Kemerdekaan RI. Jangan melupakan sejarah. Sebab sejarah tidak mungkin didustai karena ia senantiasa menyampaikan kebenaran. Solzhenitzyn pernah berkata, “Belajarlah sejarah karena orang yang belajar sejarah saja masih buta sebelah matanya. Apalagi yang tidak pernah belajar dan mengerti sejarah, ia akan buta pada kedua matanya.”
Sebagai sebuah bangsa, Indonesia juga memiliki catatan sejarah masa silam. Tentu saja catatan sejarah bukanlah sebuah romantisme belaka melainkan moment yang tepat untuk belajar. Dan karena manusia adalah “gembala tradisi” maka catatan sejarah juga hendaknya menjadi referensi yang terus disegarkan dengan tindakan konkret saat ini dan di sini, di bumi Indonesia. Melupakan sejarah berarti kita juga melupakan tindakan rasional humanis yang harus mewarnai seluruh sepak terjang kita sebagai warga masyarakat dan warga negara Indonesia yang baik. Sekali lagi “Jasmerah” – Jangan melupakan sejarah!
“Saudara-saudara sekalian!
Saja telah minta saudara-saudara hadlir di sini untuk menjaksikan satu peristiwa maha-penting dalam sedjarah kita.” Demikian Bung Karno mengawali Pidato dalam mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945, 63 tahun silam. Lebih lanjut Bung Karno mengatakan, “Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berdjoang, untuk kemerdekaan tanah-air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun! Gelombangnja aksi kita untuk mentjapai kemerdekaan kita itu ada naiknja dan ada turunnja, tetapi djiwa kita tetap menudju kearah tjita-tjita. Djuga didalam djaman Djepang, usaha kita untuk mentjapai kemerdekaan-nasional tidak berhenti-berhenti. Didalam djaman Djepang ini, tampaknja sadja kita menjandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnja, tetap kita menjusun tenaga kita sendiri, tetap kita pertjaja kepada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnja kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah-air kita didalam tangan kita sendiri. Hanja bangsa jang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnja. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musjawarat dengan pemuka-pemuka Rakjat Indonesia, dari seluruh Indonesia. Permusjawaratan itu seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnja untuk menjatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara!
Dengan ini kami menjatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah proklamasi kami.(Buku “Dari Proklamasi sampai Takem”1963).
Demikian Bung Karno mengawali kata-kata tersebut sebelum ia membacakan naskah Proklamasi.
Ketika saya membaca kembali catatan sejarah yang dihimpun dan dibukukan oleh Muhammad Yamin tersebut di atas, saya mencoba untuk merasakan semangat dan keberanian Bung Karno dkk untuk menyatakan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia telah bebas dari cengkraman penjajah. Kita sekarang telah merdeka! Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Tetapi sekarang, meskipun sudah 63 tahun merdeka, kita masih memaknai kemerdekaan itu dengan lomba makan kerupuk. Masih banyak rakyat bangsa Indonesia yang antri BLT dan beras murah tapi sambil meneteng handphone. Masih banyak juga balita gizi buruk di hampir semua pelosok negeri yang kaya akan sampah kemasan makanan instan dan berhamburan di seantero pojok kota. Masih banyak dana subsidi rakyat kecil di desa yang dinikmati pejabat kaya di kota. Dan masih banyak contoh lain lagi, bukan?
Menyimak beberapa contoh ironis yang dialami bangsa Indonesia setelah merdeka selama 63 tahun ini, saya teringat akan ulasan Kahin dalam bukunya Simon Philpott, Meruntuhkan Indonesia. Kahin berpendapat, sejarah Indonesia adalah sejarah yang memunculkan masyarakat yang kehilangan keseimbangan atau masyarakat yang terdistorsi. Kahin mungkin benar karena yang dikaji Kahin adalah masyarakat Jawa yang benar-benar kehilangan keseimbangan karena penjajah atau kolonial ketika itu. Tapi apakah Kahin masih benar ketika kita atau bangsa Indonesia ini sudah merdeka 63 tahun? Apakah masih ada masyarakat Indonesia saat ini yang kehilangan keseimbangan? Kahin punya alasan bahwa yang membuat masyarakat menderita adalah penjajah. Tapi, siapakah yang membuat masyarakat Indonesia kini  menderita? Penjajah kah? Neokolonialisme dengan beraneka pakaian dan seragam bisa membuat masyarakat Indonesia terdistorsi. Masyarakat kehilangan kepercayaan pada para pemimpinnya. Rantai makanan di negeri ini menjadi kacau balau. Manusia saling memakan satu dengan yang lain. Ancaman hukuman mati tidak hanya untuk penjagal manusia tapi juga untuk para pemakan uang negara. Berbagai lembaga bentukan pemerintah dan swasta bekerja sama dengan pendonor luar negeri berjuang keras membela hak asasi dan martabat manusia terutama perempuan dan anak-anak. Namun rakyat masih belum bebas dari berbagai penderitaan, bahkan rakyat terus dibebani dengan kenaikan harga barang, meski impor mobil mewah terus membanjiri negeri ini.
Negeri ini memang pernah mengukir sejarah, tirani atau kekuasaan yang sewenang-wenang akan hancur juga kendati ia mencoba untuk bertahan dalam hitungan dekade sekalipun. Ketika Soeharto menyatakan lengser pada tanggal 21 Mei 1998 banyak orang terkejut dan para demontran bersorak gembira sambil berteriak merdeka! Maknanya adalah bebas dari kekuasaan yang sewenang-wenang ala orde baru, meski kita juga harus jujur untuk memuji prestasi mendiang sang presiden orde baru itu. Kita pantas belajar dari sejarah! Agar kita tidak jatuh pada lubang yang sama seperti keledai dungu. Kita juga jangan menjadi penggali lubang penderitaan dan kematian bagi rakyat di negeri ini dengan berbagai sepak terjang kita entah dengan pakaian atau seragam apapun yang kita kenakan pada diri kita. Kita bertekad, Indonesia yang korup, Indonesia yang sewenang-wenang, Indonesia yang terkotak-kotak, Indonesia yang malas sehingga cuma bisa buat lomba makan kerupuk harus kita runtuhkan dan kita ganti dengan Indonesia baru yang bersih, sehat, kuat dan rakyatnya bisa makan 3 kali sehari ditemani dengan kerupuk yang krenyas-krenyes sambil tersenyum pada siapa saja saudaranya sebangsa dan setanah-air. Indonesia juga harus mampu bersaing di dunia Internasional sambil merangkul penuh damai negeri-negeri yang masih berkecamuk perang.
Indonesia, setelah 63 tahun merdeka janganlah pernah lupa akan sejarah perjuangannya. Dengan itu kita sebagai bangsa yang berdaulat dapat dengan bebas untuk berikhtiar mengisi kemerdekaan ini. Kita tidak boleh berhenti belajar untuk menjadi bangsa yang bermartabat dan berdaya saing tinggi. Kita memang harus giat belajar agar kita tidak menjadi bangsa yang mengekor dan tertinggal jauh di belakang. Indonesia yang sebentar lagi akan menyelenggarakan Pemilu legislatif dan Pemilihan langsung presiden dan wakil presiden harus benar-benar dapat memperbaharui diri. Sesungguhnya reformasi Indonesia belum berakhir. Pemilu 2009 nanti hendaknya menjadi momentum perubahan yang membawa rakyat bangsa Indonesia bukan hanya pada pintu gerbang kesejahteraan tapi turut masuk dan menikmati kesejahteraan di dalam rumah Indonesia yang kokoh, kuat, bersih dan sehat. Karena kesejahteraan Indonesia adalah kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Indonesia boleh menjadi komunitas etis yang bukan menjadi mimpi semata bagi seluruh rakyat Indonesia entah sampai kapan tapi menjadi kenyataan konret yang dialami oleh seluruh tumpah darah Indonesia yaitu rakyatnya, warga negara Indonesia yang hidup rukun dan damai dengan semua penghuni bumi. Bung Karno menutup pidato Proklamasinya dengan berkata, “ Insja Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu!”
Dan saya  mengatakan, “Amin!”

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home