Jonas Gobang

Monday, April 19, 2010

MEDIA DI INDONESIA DALAM IKHTIAR MEMBUNGKUS TUBUH PEREMPUAN Menelanjangi Media atau (Kartini ) Perempuan ?

MEDIA DI INDONESIA DALAM IKHTIAR
MEMBUNGKUS TUBUH PEREMPUAN
Menelanjangi Media atau (Kartini) Perempuan ?
Oleh : Jonas Klemens G.D. Gobang (3590)

Kecantikan sebuah bentuk pemerasan ?
dari Catatan Pinggir Seorang Lelaki.(NN)

Qualis avis, talis cantus (demikian burungnya, demikian nyanyiannya)
Adagium Latin.


Pendahuluan

Kecantikan, konon, merupakan anugerah yang terindah bagi seorang perempuan. Tak ada yang lebih diimpikan oleh perempuan selain tampil cantik dan memesona di hadapan lawan jenisnya. Karena itu, kecantikan begitu dipuja, sehingga rasanya apa saja akan dipertaruhkan demi menebus impian “menjadi cantik”.
Karena itu pula sahabat saya, ia seorang lelaki, tinggal di biara (seminari ), semacam pesantren untuk para santri, mengatakan kecantikan itu sebuah bentuk “pemerasan”. Entah mengapa, sahabat saya mengatakan demikian. Namun kedua pernyataan tersebut di atas telah mendorong saya untuk membaca fitrah keperempuanan di Indonesia dan mencermati manuver media dalam memotret perempuan. Hal ini terjadi ketika kita atau sekurang-kurangnya saya melihat betapa media dan perempuan saling berelasi dan berinteraksi dalam berbagai program pemberitaan (news), hiburan (enterteinment) dan iklan (advertising) baik di media cetak maupun elektronik.
      Tulisan ini menjadi upaya membongkar kedok media di Indonesia baik cetak maupun elektronik yang menjadikan perempuan sebagai “alat” untuk menghasilkan keuntungan (profit) semata-mata bagi pemilik media dan baron-baron (pengusaha, konglomerat) yang produk dari perusahannya diiklankan melalui media. Bagaimana media mencitrakan perempuan dalam program acaranya? Dan apakah media hanya mencari sensasi untuk meraup keuntungan bisnis semata dan perempuan dianggap mampu mendongkrak profit media ?
           Betapa kaum perempuan Indonesia menjadi komoditas yang paling laris dan karena itu niscaya menjadi “obyek” yang tidak merdeka dalam mengekspresikan diri mereka. Dan seandainya R.A. Kartini masih hidup saat ini (usianya 131 tahun), ia pun mungkin tidak bisa berbicara banyak karena secara fisik tentu telah tua renta dan tak mampu berpikir kritis lagi, ia juga tentu tak mampu lagi menulis surat apalagi menggugat media di Indonesia yang cenderung menjadikan perempuan sebagai “obyek” pemuas dahaga “kerakusan” dalam meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Karena itu tulisan ini menjadi upaya “membongkar” atau mengkritisi media sekaligus perempuan Indonesia. Tulisan ini ingin “menelanjangi” media dan perempuan di Indonesia dan sekaligus menawarkan “busana” baru dalam mengemas pemberitaan (news), hiburan (enterteinment) dan iklan (advertising) baik untuk media cetak maupun elektronik. ”Busana” baru di sini lebih dimaksudkan sebagai konsep etis-kritis yang didasarkan pada pemikiran beberapa filsuf kritis seperti Karl Marx dan Nietzche. Selain itu konsep ekonomi politik yang pernah ditulis oleh Vincent Mosco juga dijadikan sebagai landasan untuk mengkaji manuver media dan perempuan di Indonesia. Tentu saja beberapa sumber lainnya akan menjadi pelengkap dalam mendesain tulisan ini.

Membaca Fitrah Keperempuanan dari Insight Media

Media, baik cetak maupun elektronik di Indonesia tak urung juga menjadikan perempuan sebagai komoditas yang mampu memberikan keuntungan bagi dirinya. Media sedapat mungkin “membungkus” tubuh perempuan sedemikian rupa, sehingga rating atau oplag-nya terus meningkat dan mendatangkan profit.
        Fitrah keperempuanan dikonstruksi kembali oleh media guna mencapai tujuannya. Tentu saja dari aspek etika media hal ini memiliki aturan mainnya, di mana media selain berfungsi untuk menyampaikan fakta (to inform), ia juga sekaligus perlu memberikan makna demi tujuan mendidik (to educate) masyarakat dan tidak sekadar untuk menghibur (to entertein) semata. Selain itu media hendaknya menjadi sarana untuk mengontrol (to control)dan memberikan kritik moral tentang segala sesuatu yang terjadi di tengah masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas nampak adanya relasi antara media, publik, pasar dan para pemilik modal termasuk para pemasang iklan. Negara dalam hal ini menjadi entitas lain yang harus diperhitungkan dalam berlakunya sistem media melalui kebijakannya berupa undang-undang atau ketentuan.
         Secara sosiologis kita dapat menemukan adanya relasi yang saling mempengaruhi antara unsur-unsur atau aktor-aktor dalam berjalannya sistem media. Hubungan yang saling mempengaruhi antara unsur-unsur atau aktor-aktor dalam sistem media di Indonesia dipengaruhi juga oleh faktor-faktor, seperti : sistem nilai yang berlaku, sistem politik, tingkat perkembangan masyarakat di semua bidang kehidupan, termasuk di dalamnya adalah bidang kebudayaan dan ekonomi. Dan yang harus kita sebutkan juga adalah tingkat kualitas dari media itu sendiri.
       Fitrah keperempuanan di mata media di Indonesia cenderung menjadi semacam “contempt for women” (pelecehan terhadap perempuan) bila media dan juga perempuan sendiri tidak menyadari jatidirinya yang menjadi kekuatan sekaligus kehormatan. Saya lantas teringat akan artis cantik di zamannya, seperti : Sarah Azhari, Ria Irawan, Devi Permatasari dan Ayu Azhari yang pernah mementaskan teater berjudul Vagina Monolog di Graha Bakti Budaya TMII Jakarta, tahun 2003 silam. Saya setuju dengan Vagina Monolog, jika itu merupakan ekspresi yang ingin diutarakan untuk membangun kesadaran dan horison baru guna mengangkat citra perempuan Indonesia yang masih berada dalam “kegelapan” (black of insight), seperti layaknya perjuangan R.A. Kartini dahulu di zamannya.
        Perempuan Indonesia haruslah sadar dalam bermedia sehingga ia tidak mudah untuk dijadikan sebagai “lembu betina” – sebutan paling sopan untuk perempuan oleh Nietzche – sehingga dengan demikian perempuan Indonesia akan mampu meraih kesamaan hak dalam pelbagai bidang kehidupan tanpa perlu mengorbankan tubuhnya atau kecantikannya semata. Perlu kita ingat bahwa Nietzche memang tidak secara eksplisit menyebut media, namun “lelaki” boleh menjadi simbol untuk media ketika media cenderung dikuasai oleh kaum lelaki termasuk di Indonesia yang cukup kental dengan paham patriarki.
         Lain lagi dengan Karl Marx. Jika kita memandang dengan “kacamata” ekonomi politiknya Karl Marx maka kita akan menemukan sesuatu yang mengasyikan namun tidak membuat kita terlena untuk terlalu cepat memberikan penilaian terhadap apa yang dihasilkan oleh media. Pada tataran ini kritik Marx terhadap kaum pemilik modal seolah dihidupkan kembali. Kaum pemilik modal, pemilik media menjadikan berita sebagai sarana untuk meraih keuntungan dari orang lain, mereka juga dapat memaksa para pekerja media untuk membuat berita sesuai dengan pesanan sponsor demi meraup keuntungan. Akibatnya, perempuan menjadi komoditi yang sangat laku keras baik di pasaran domestik maupun mancanegara.
        Perempuan dan media saling mempengaruhi dalam dunia yang kian kapitalis dan menjalar hingga ke tanah air Indonesia. Perempuan, secara tidak sadar, berpaling pada media (teristimewa televisi) untuk mengukuhkan norma kecantikan terkini, hanya untuk diberi pembuktian lebih jauh mengenai kekurangan tubuh mereka sendiri. Fitur ideal tersebut mendorong terciptanya harapan akan tubuh impian. Tubuh-tubuh ideal biasanya ditampilkan dalam majalah, film, televisi, dan dunia periklanan, yang menggambarkan atau menyajikan sosok perempuan ideal sebagai suatu figur perempuan yang langsing, berkaki indah, paha, pinggang dan pinggul ramping, payudara cukup besar, dan kulit putih mulus.
        Beberapa penelitian dan literatur menunjukkan fenomena para perempuan dari kebudayaan Barat yang dibombardir oleh media massa dengan standar tubuh yang diidealkan, sehingga mereka cenderung jatuh dalam citra tubuh negatif. Kalau kita amati, fenomena yang terjadi di Barat ini juga terjadi di Indonesia karena adanya globalisasi kapitalisme yang menyebabkan para perempuan dari kebudayaan Timur pun mengalami hal yang sama. Buktinya, berbagai macam bentuk produk dari luar negeri untuk memperbaiki tubuh juga dikonsumsi oleh perempuan Asia, termasuk Indonesia, karena adanya fitur perempuan ideal dalam iklan dan sinetron yang menyerupai fitur ideal perempuan Barat.


        Dengan kemajuan teknologi masa kini, standar kecantikan menjadi global dan universal. Maksudnya, standar pembentukan citra tubuh yang digambarkan oleh iklan kosmetika dunia menjadi megatrend bagi hampir semua manusia di dunia bahkan menembus pelosok-pelosok kampung di Indonesia. Globalisasi pula yang menyebabkan trend bentuk tubuh ideal ini menuju ke satu arah, yaitu langsing dan proporsional. Dan media senantiasa berikhtiar membungkus tubuh perempuan sedemikian rupa agar mampu menyibak segi-segi sensasional yang menguntungkan bagi media dan boleh jadi bagi perempuan. Pertanyaannya, tubuh perempuan akankah terus menjadi komoditas semata bagi media?

Etika Komunikasi vs Manipulasi Media

Hampir pasti setiap tanggal 21 April, media di Indonesia menulis tentang perempuan Indonesia. Perempuan Indonesia yang dikaitkan dengan “ Hari Kartini”. Banyak media di Indonesia biasa mengekspose “keperkasaan” perempuan, seperti : perempuan pengemudi bus, perempuan penarik becak, perempuan penerbang pesawat tempur atau perempuan yang mampu mengerjakan pekerjaan kaum lelaki.
      Menurut Novel Ali, Media massa hampir selalu berada dalam impitan dua kepentingan. Bisnis dan idealisme. Di tengah dua kenpentingan itu sulit bagi konsumen pers mengharap sajian media massa yang tidak berpihak. Sajian pers Indonesia pun tidak terlepas dari kapitalisme media di satu sisi, dan euphoria public di sisi lain. Euforia publik dan kapitalisme media itu dibentuk oleh terpaan globalisasi dan hedonisme, yang mengakibatkan kesenjangan komunikasi antara pengelola lembaga media, dengan berbagai pemangku kepentingannya.
      Lebih lanjut Novel Ali mengatakan bahwa perbedaan mindset antara pemilik dan pengelola pers dengan konsumen pers merupakan embrio kegagalan media massa membangun human dignity (martabat manusia) di tengah kehidupan individu dan masyarakat. Salah satu dampaknya adalah lubernya aksesibilitas pers dalam membentuk, mengarahakan, dan mengendalikan opini publik, yang tak diimbangi akuntabilitas eksternal media massa sebagaimana seharusnya.
         Dalam konteks ini, menurut Novel Ali, sajian pers nasional kita kurang mampu menyeimbangkan pemenuhan kepentingan produsen informasi dan konsumen informasi. Pengelola pers sering menyajikan informasi yang mengesampingkan kepentingan ideologi media massa, akibat kuatnya dorongan pemenuhan kepentingan bisnis pers. Sebaliknya, konsumen pers pasrah kepada sajian apa pun yang diberikan oleh produsen informasi publik tersebut.
        Ideologi media massa yang takluk di bawah cengkraman kapitalisme pers membentuk sikap dan perilaku pekerja pers yang memosisikan informasi semata-mata sebagai komoditas. Informasi tanpa bobot komoditas dinilai jauh dari rasa ingin tahu (sense of curiosity). Padahal pemenuhan keingintahuan manusia itu pada umumnya sangat bergantung kepada kemauan baik pengelola lembaga media massa dalam menyajikan informasi.
Konflik kapitalisme pers dan ideologi media massa mengakibatkan buramnya nilai-nilai pragmatis dalam pers. Salah satu resikonya adalah pemberitaan pers yang cenderung tidak bertanggungjawab terhadap berbagai dampak pemberitaanya. Itu sebabnya tidak mengherankan bila tanggungjawab sosial pers lantas nyaris tidak dihiraukan oleh pekerja pers. Pada gilirannya, pertanggungjawaban pers berada di luar kerangka profesionalisme media massa dan tanggungjawab kemanusiaan.
       Pendapat tersebut di atas mau mengafirmasi adanya manipulasi media demi kepentingan bisnis semata (public can be manipulated by media), karena media memiliki agendanya sendiri untuk memproduksi informasi bagi publik. Media tentu saja harus memiliki pegangan etika selain undang-undang atau ketentuan aturan main lainnya.
        Etika komunikasi dibutuhkan dalam pertarungan dengan manipulasi media. Karena media bisa jadi dapat memproduksi apa yang disebut sebagai kekerasan simbolis. Kekerasan simbolis melalui media dapat pula terjadi karena persetujuan tersirat dari korbannya yang nota bene sangat rentan terjadi pada kaum perempuan. Kekerasan simbolis merupakan bentuk dominasi.
       Nah, etika komunikasi mau membongkar bentuk-bentuk dominasi itu dengan mengajak penonton/pembaca berani mengambil jarak. Etika komunikasi menumbuhkan kepedulian untuk mengkritisi media yang dewasa ini cenderung membuat pemirsa/pembaca kompulsif sehingga membuat refleksi diabaikan demi emosi. Informasi sudah merupakan interpretasi. Gambar selalu dikonstruksi. Tidak mudah memilah-milah tipuan, sensor, propaganda, dan kepentingan tersembunyi. Etika komunikasi mau menjamin hak berkomunikasi di ruang publik dan hak akan informasi yang benar.


      Budhy K. Zaman berpendapat bahwa secara historis media menggambarkan perempuan dengan peran sosial dalam skala sempit, seperti : obyek asmara, ibu rumah tangga, ibu, perawan, atau pelacur. Dan masih menurut Cah Budhy, kalangan kapitalis mengeksploitasi tema-tema seksual yang menekankan gambaran perempuan (muda) sebagai obyek seks. Kontrol atas produksi media tentang seksualitas perempuan tetap di tangan kalangan kapitalis dan kaum lelaki. Akibatnya, gerakan pembebasan seks sebagian dikooptasi oleh kapitalis media yang didominasi kaum lelaki, dan terus berlanjut hingga sekarang. Imaji perempuan muda secara grafis diseksualisasikan dan digerakkan kepada fantasi lelaki tentang perempuan ideal sebagai obyek seks.


        Vincent Mosco pun mengkritik media dengan konsep komodifikasinya, di mana nilai guna sebuah informasi yang disampaikan oleh media diganti menjadi nilai tukar sebuah komoditas dalam persaingan pasar. Komodifikasi pun merambah hampir pada segala bidang kehidupan sebagai akibat logis dari adanya ideologi pasar. Segala sesuatu bisa saja dimanipulasi demi meraup keuntungan sebesar-besarnya. Media dalam hal ini menjadi instrumen yang digunakan oleh kelas berkuasa (pemilik modal, pemasang iklan, penguasa negara) untuk memaksakan ideologinya. Dan ideologi yang dominan di sini adalah kapitalis yang didominasi oleh kaum lelaki sehingga gambaran perempuan di media umumnya sebagai obyek seks. Kalau demikian, jika R.A. Kartini masih hidup, ia bisa marah besar atau mungkin cuma menangis terseduh-seduh - layaknya perempuan ningrat ke-Indonesia-an yang santun - di dalam setiap lembar suratnya yang ia kirimkan ke berbagai media. Yang terakhir disebutkan adalah imajinasi penulis yang bisa saja tergelincir pada fatalisme. Lantas kita mesti berbuat apa?

Penutup

        Membangun kesadaran kritis dalam bermedia merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak) baik bagi media (termasuk di dalamnya para pemilik modal, pemasang iklan, dan pekerja media) maupun bagi perempuan (dalam hal ini perempuan Indonesia) atau masyarakat (publik) pada umumnya. Kesadaran kritis tentu saja penting untuk selalu dibangun melalui studi akademis, kritik sosial maupun himbauan moral dari semua elemen dalam masyarakat bangsa.
Kesadaran kritis bagaikan “busana” yang harus dikenakan baik oleh media maupun oleh kaum perempuan di Indonesia, juga tentu saja oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa membedakan jenis kelamin, status sosial dan kedudukannya. Kesadaran kritis ini dibutuhkan karena realitas dunia terus berubah atau berganti-ganti oleh derasnya arus perkembangan teknologi informasi.
     Jean Baudrillard juga mengingatkan kita agar kita punya kesadaran terhadap realitas, media dan ilusi. Begitu banyak yang ditawarkan oleh dunia baru ini, sehingga seakan-akan ia dapat menyalurkan segala dorongan hasrat dan segala desakan energi libido manusia. Akan tetapi, begitu banyak pula yang direnggutnya dari manusia, yang meninggalkan berbagai bercak luka, rasa kehilangan, dan duka kepedihan pada diri manusia. Baudrillard merasa bahwa realitas sudah mati, dan kita hidup di dunia “Disney” hiper-realitas yang luas. Hiper-realitas (simulacra) adalah tanda-tanda memiliki kehidupannya sendiri-lepas dari realitas, dan mengambang bebas.
R. Kristiawan, Manajer Program Media dan Informasi, Yayasan Tifa, Jakarta mengatakan bahwa Disneyland merupakan contoh sempurna simulacra. Batas antara kejujuran dan kebohongan bukannya tipis, tetapi tidak ada. Semua hanya bermain-main pada simulasi tanda demi mengabdi kepada kepentingan hasrat. Opini publik menjadi wilayah sangat lentur dalam dunia pemaknaan yang tanpa batas.
      Ia juga menambahkan bahwa institusi-institusi dalam modernitas termasuk televisi pada dasarnya bekerja sebagai mesin hasrat (desiring machine, Felix Guattari & Gilles Deleuze, 1972) untuk memenuhi hasrat tertentu. Hasrat terbesar televisi Indonesia adalah perolehan keuntungan sebesar-besarnya. Sekarang publik benar-benar hidup dalam habitat kebingungngan yang sempurna. Tidak ada yang jujur lagi di muka bumi ini.
Kita telah menemukan “busana” kesadaran kritis yang pantas dikenakan setelah kita berupaya menelanjangi media dan - ah... maaf, bukan pada arti yang sesungguhnya – kita juga telah menelanjangi kaum perempuan. Busana kesadaran kritis tidak hanya menjadi tanggung jawab para akademisi di kampus-kampus tetapi juga merupakan tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat termasuk media dan kaum perempuan itu sendiri. Mari kita mereparasi bukan hanya dengan kata-kata tetapi juga dengan tindakan nyata. Sebab kata-kata senantiasa mengajak, tetapi teladan adalah tindakan yang menarik...”verba movent, exempla trahunt”. ***


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Novel, “Ideologi Media Massa” dalam Kolom Opini pada Harian Kompas, Kamis, 15 April 2010.
Berlin, Isaiah, Biografi Karl Marx, Eri Setiyawati Alkhatab dan Silvester G. Sukur (terj), Jejak, Yogyakarta,   2007.
Hariyatmoko, Dr., Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi, Kanisius, Yogyakarta, 2007.
Kristiawan, R., “Simulasi Kebohongan Televisi”, dalam Kolom Opini pada Harian Kompas, Sabtu, 17 April 2010.
Liliweri, Alo, Dr., M.S., “Teori-Teori Komunikasi”, kumpulan teori komunikasi yang diakses dari Internet, sumber : Honors : Communication Capstone Spring 2000, Theory Workbook, Jurusan Sosiologi FISIP Undana, Kupang, 2002.
Melliana, Annastasia S, Menjelajah Tubuh Perempuan dan Mitos Kecantikan, LKiS, Yogyakarta, 2006.
Mosco, Vincent, The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal, Sage, London, 1996.
O’Donnell, Kevin, Postmodernisme, Penerbit Kanisius, Jogyakarta, 2009.
Oetama, Jakob, Perspektif Pers Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1987.
Zaman, Budhy K. dan Dian Arymami, materi kuliah Isu-Isu Komunikasi Terkini untuk Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Fisipol UGM, Yogyakarta, “Media & Dimensi Seksualitas Manusia” dalam Powerpoint, tanggal 30 Maret 2010.
http://chrissanta.wordpress.com, diakses pada Kamis, 15 April 2010.




3 Comments:

Blogger DeBbY said...

semoga tulisan2nya tak hanya bisa "menelanjangi" objek tulisannya tp mampu memberikan "pakaian" sebagai tujuan penulisannya.
Sukses buat Jonas Gobang / bung GG, sedikit masukan, profile-nya sudah harus di update termasuk apa yang menggambarkan ttg diri bung GG dlm post-nya di "about me" THANKS,..

May 4, 2010 at 6:56 PM  
Anonymous Anonymous said...

TQ 4 sharing this topic! Baca tanggapanku di blogku ya... http://dekabright.blogspot.com/2010/05/kata-iklan-di-media-cantik-itu-indo.html

May 6, 2010 at 12:28 PM  
Blogger jhe said...

bang jonas semoga kau mengingat wajahku saat kau tau aku membaca blogmu..salam dr teman seperjuangan d komunikasi ugm.jhe

July 5, 2010 at 5:29 AM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home