Jonas Gobang

Saturday, September 5, 2009

HASIL UJIAN NASIONAL DAN REORIENTASI PENDIDIKAN NASIONAL

HASIL UJIAN NASIONAL DAN REORIENTASI
PENDIDIKAN NASIONAL
OLEH : JONAS GOBANG
Departemen Pendidikan Nasional melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) pada tahun 2008 ini. Hasil UN sudah kita ketahui tapi perlu dicermati untuk menentukan kembali orientasi pendidikan nasional. Tidak berlebihan jika saya mengatakan hasil UN untuk tingkat SD / MI / SDLB, SMP / MTs / SMPLB, SMA / MA / SMALB sangat tidak membanggakan sekaligus dapat mengerdilkan hati bangsa ini dalam menyiapkan generasi muda menjadi generasi yang cerdas dan kreatif serta berdaya saing tinggi.
Alamak! Keluhan bahkan umpatan, caci maki terlontar spontan dari mulut anak didik dan orang tua ketika menerima hasil UN. Tapi ada juga yang lebih dari itu. Ratapan kedukaan juga menggedor gendang telinga kita, ketika tahu tidak lulus UN, seorang siswi di Manggarai langsung bunuh diri. Ada juga anak didik yang menurut guru – gurunya cerdas dan mendapat rangking teratas selama belajar di sekolahnya, tapi harus menelan kenyataan getir, tidak lulus UN. Dan lagi mereka yang tidak lulus UN, meski enggan dan malu, terpaksa mengikuti ujian kesetaraan yang dikelompokan pada Paket A untuk SD / MI / SDLB, B untuk SMP / MTs / SMPLB, dan C untuk SMA / MA / SMK / SMALB. Pertanyaanya, apakah dengan mengikuti UN, Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional yang telah menugasi BSNP merasa yakin akan mencetak generasi muda Indonesia yang cerdas, kreatif dan berdaya saing tinggi? UN bukanlah segalanya!!! UN juga tidak mendidik anak bangsa agar cerdas dan kreatif. UN adalah proyek yang mendatangkan uang bermiliaran rupiah bagi para cukong yang menang tender pengadaan barang – barang UN. Hitung saja berapa ratus juta sekolah peserta UN di Negeri ini?
Keluhan mengenai rendahnya kualitas manusia Indonesia dan tidak adanya daya kreatifitas dibanyak kalangan generasi muda kita sesungguhnya tidak terlepas dari orientasi pendidikan kita dewasa ini. Kita perlu menggagas kembali orientasi pendidikan nasional agar kita menemukan sistem yang tepat guna menghasilkan generasi muda Indonesia yang cerdas, kreatif dan berdaya saing tinggi. Kita jangan cepat menyalahkan saran dan prasarana, fasilitas pendidikan yang minim, alokasi anggaran pendidikan yang minim, atau mutu gurunya. Kita perlu merefleksikan k\embali orientasi pendidikan kita. Banyak anak cerdas dan kreatif  “ dibunuh “ dengan dinyatakan tidak lulus UN. Menurut saya UN tidak boleh hanya dilakukan secara obyektif, berkeadilan dan akuntabel, tetapi UN harus dijalankan secara komprehensif dan proposional. Itu artinya UN sesungguhnya tidaklah  komprehensif dan proposional. UN bagi anak didik semata – mata berorientasi pada kelulusan belaka. Asalkan bisa lulus UN dan setelah itu diapresiasikan dengan aksi coret- coret dan ngebut- ngebutan di jalan. UN sesungguhnya telah menyumbangkan pendidikan yang berorientasi ‘’ instan’’ artinya hanya dalam tempo yang singkat, proses belajar selam bertahun – tahun ditentukan melalui UN 3 – 4 hari. Bagi kalangan lain tentu berpandangan bahwa UN bukanlah sesuatu yang buruk. Karena toh kita membutuhkan standar tertentu untuk mengukur mutu kelulusan. Menurut saya UN saja tidak cukup untuk sebuah mutu atau kualitas. Apa lagi sistem jawaban UN yang menggunakan lembar jawaban komputer (LJK) telah banyak merugikan anak didik. Mengapa cara yang merugikan ini digunakan? Gunakan saja cara yang tidak merugikan. Boleh saja memakai komputer, tapi jangan sampai hanya karena keliru dalam membuat bulatan meski jawaban benar tapi disalahkan oleh komputer. Saya anjurkan dicarikan solusinya karena pensil yang digunakan ada yang tiruan,dan barang tiruan biasanya lebih banyak beredar di pasaran.
Lebih lanjut dalam refleksi saya, peran guru selama bertahun  - tahun membimbing anak didik digeser dan digantikan oleh benda mati komputer demi UN yang katanya lebih objektif, berkeadilan dan akuntabel. Bagi saya UN sebaiknya ditiadakan saja. UN hanyalah menoreh gonggongan kelamnya dunia pendidikan di Indonesia seraya melantunkan mazmur ratapan para guru dan kidung memilukan para murid. Namun betapapun memilukan hasil UN, baiklah kita berpedoman pada kata orang bijak  “Dari pada mengutuki kegelapan, lebih baiklah menyalakan lilin, sekecil apapun lilin itu.”
Menurut Romo Mangun tugas pendidikan (sekolah) ialah menghantar dan menolong peserta didik untuk mengenali dan mengembangkan potensi – potensi dirinya agar menjadi manusia yang mandiri, dewasa dan utuh; manusia merdeka sekaligus peduli dan solider dengan sesama manusia lain dalam iktiar meraih kemanusiaan yang semakin sejati, dengan jati diri dan cita - diri yang semakin utuh, harmonis dan integral. Pendidikan bermekanisme belajar untuk seumur hidup. Seluruh masyarakat adalah sekolah. Peserta didik harus punya sikap dasar sebagai modal yaitu “semua orang adalah guruku”, sehingga pada saatnya nanti “semua orang adalah muridku juga”. Pendidikan harus mampu membekali dan mendampingi peserta didik agar :
a.    Secara perorangan menjadi pribadi yang cerdas, terampil, jujur dan berkarakter, takwa dan utuh.
b.    Dari segi sosial menjadi manusia dengan rasa solidaritas dan pelibatan diri yang bertanggung jawab.
Pendidikan diarahkan pada proses emansipasi para peserta didik. Ada tiga tujuan emansipatorik yaitu :
a.    Manusia eksplorator : suka mencari, bertanya, berpetualang, punya keyakinan bahwa manusia yang bertanya jauh lebih tinggi tingkatnya dari pada yang pintar menjawab pertanyaan – pertanyaan yang sudah ada.
b.    Manusia kreatif  : pembaru, berjiwa terbuka, dan merdeka; kritis, kaya imajinasi, dan fantasi; dan tidak mudah menyerah pada nasib.
c.    Manusia integral : sadar akan multidimensionalitas kehidupan, paham akan kemungkinan jalan – jalan alternatif, pandai membuat pilihan yang benar atas dasar pertimbangan yang benar, yakin akan benar atas dasar pertimbangan yang benar, dan yakin akan kebhinekaan kehidupan namun mengintegrasikannya dalam suatu kerangka yang sederhana.
Romo Mangun meyakini pandangan bahwa tidak ada anak yang bodoh. Setiap anak secara unik dan alami dibekali naluri dasar untuk bertumbuhan. Maka sikap guru yang benar terhadap murid bukan instruktor, indoktrinator, penatar, birokrasi, komandan atau pawamg, melainkan guru sebagai ibu, bapak, kakak, sahabat, dan penyayang anak didik. Guru mendidik peserta didik dengan berprinsip ajrih-asih dalam atmosphere sekolah yang penuh kekeluargaan, kesetiakawanan, saling menolong, dan saling memajukan diri. Iklim kompetisi yang tidak sehat harus disingkirkan tanpa mematikan usaha anak untuk berprestasi.
Nah, UN sekali lagi memang aneh. Anak yang pintar dan selalu mendapat rangking dan diandalkan gurunya, cuma bisa menatap aneh, koq tidak lulus; sementara yang tidak diandalkan juga merasa aneh, koq saya lulus ya? Duh, Aduh Republikku Indonesia jangan sampai pecah dindingmu lalu terhempas gelombang. Karena bangsa hanya bisa maju kalau pendidikannya juga maju. Mari kita meletakkan kembali orientasi pendidikan, bukan sebagai “proyek” tetapi sebagai tugas (Aufgabe) dan penggilan ibu pertiwi. Karena untuk mendidik seorang anak, kita membutuhkan satu desa.****

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home