Jonas Gobang

Saturday, September 5, 2009

KAUM MUDA DAN KULTUR KEMATIAN
Sebuah Keprihatinan dan Tawaran Solusi 

Oleh : Jonas Klemens Gregorius Dori Gobang *)
Hormat akan kehidupan adalah perlawanan terhadap kultur kematian.
“WIR HAT DIE JUGEND, IHR HAD DER ZU KOMST” – SIAPA YANG MEMILIKI ORANG MUDA, DIA MEMILIKI HARI DEPAN, demikian ungkapan orang Jerman tentang orang muda.  Selain itu pula masih banyak lagi ungkapan yang sering dilontarkan untuk atau tentang orang muda. Entah itu bernuansa penuh optimisme, seperti “Pemuda Harapan Bangsa”, “Pemuda Tulang Punggung Negara”, Pemuda Pewaris Cita – Cita Luhur Bangsa Dan Negara, atau juga tidak kurang juga ungkapan tentang orang muda yang bernada sinis – pesimistik, seperti “Mau diharapkan apa dari generasi ini ?”
Terlepas dari ungkapan yang bernuansa optimisme dan bernada sinis – pesimistik, seperti di atas, mendiang Romo Mangun berujar, “Pemuda itu jangan mau di-brain  washing, jangan mau dicuci otaknya”. (PIJAR, Majalah Filsafat UGM, Edisi Soempah Pemoeda, 28 Oktober 1997, hal.1, kol V). Perkataan mendiang Romo Mangun di atas sesungguhnya mengisyaratkan adanya ketidakberesan dan ketidakbenaran atas apa yang diterima pemuda selama ini. Pernyataan menarik dari budayawan ini sebenarnya mempunyai basis sejarah, basis kekuatan spiritual – psikologis yang kuat yang terkandung dalam diri setiap orang muda. Sejarah perjuangan bangsa-bangsa, termasuk Indonesia, ditentukan pula oleh perjuangan kaum muda, demikian hal itu dibuktikan oleh kaum muda, karena sesungguhnya dalam diri mereka terkandung suatu kekuatan spiritual – psikologis yang mampu menghadapi berbagai bentuk rintangan dan tantangan.
Meski demikian kita tidak perlu mengelak dari kecemasan – kecemasan yang bisa ditimbulkan oleh kaum muda itu sendiri atau kecemasan – kecemasan yang bisa mempengaruhi kaum muda.
Tulisan ini hendak meretas konflik melalui jalan rekonsiliasi ke dalam dan ke luar. Tulisan ini juga merupakan suatu bentuk keprihatinan yang datang dari orang muda, guna melihat diri (autocritic) sambil mencari solusi atas problem yang dihadapi oleh kaum muda.
Kaum Muda dan Budaya Kematian
Berbicara tentang kaum muda tidak memisahkan kita dengan kecemasan – kecemasan tentang kaum muda itu sendiri. Kecemasan – kecemasan ini akan bisa menjadi suatu konflik. Dan kecemasan itu juga merupakan suatu konflik intern bila kecemasan itu dialami langsung oleh kaum muda itu sendiri. Selain itu pula ada konflik ekstern yang bisa berupa kecemasan dari luar diri kaum muda. Berikut kita akan telusuri konflik – konflik intern dan ekstern yang dialami oleh kaum muda dalam hidup bersama dengan dirinya dan orang lain.
Problem yang dihadapi oleh kaum muda adalah konflik intern. Konflik intern adalah perubahan psikis yang timbul dalam diri kaum muda yang dipengaruhi oleh situasi internal emosional, hasrat dan kemampuan untuk berdiri sendiri serta idealismenya bagi masa depan. Dalam hal ini konflik intern dapat di lihat sebagai suatu yang bersifat naturalis, karena ia lekat erat dengan proses perkembangan kaum muda  ke arah kedewasaan (Ny. Pratiwi Knys; Problem Yang Dihadapi Muda-Mudi, hal. 30, Kanisius, 1990)
Akan tetapi konflik intern yang bersifat naturalis ini dapat beresiko apabila tidak diolah sebagaimana semestinya. Sebab mengolah konflik berbeda dengan mengajarkan orang muda menekan tuts komputer. Mengolah konflik mengandaikan adanya dialog yang komunikatif antara orang muda dengan dirinya (refleksi) dan orang muda dengan sesamanya (relasi).
Konflik intern kaum muda bisa juga disebabkan oleh keadaan luar diri kaum muda itu sendiri. Kaum muda sering merasa tidak sama seperti yang lainnya, menyebabkan dirinya sulit bergaul, kaum muda lebih mementingkan dirinya (egois) dan manja, sengaja mencari persoalan bila terlalu sedikit perhatian atau terlalu berlebihan perhatian yang diberikan kepadanya.
Konflik intern yang dialami oleh kaum muda bisa berdampak keluar sebagai akumulasi dari berbagai bentuk kecemasan yang diekspresikan dalam bentuk – bentuk lahiriah, seperti kenakalan, kebejatan moral, perilaku stres dan frustasi.
Konflik terbesar dan terpanjang dalam proses perkembangan diri kaum muda adalah konflik ekstern, yakni konflik yang ditimbulkan dari luar diri kaum muda itu sendiri. Konflik ini besar pengaruhnya, bahkan bisa menimbulkan pula konflik intern pada diri kaum muda.
Konflik yang disadari oleh orang – orang muda sekaligus menjadi tantangan zaman adalah adanya pergeseran nilai yang cukup drastis, perubahan pandangan tentang manusia, masyarakat dan dunia. Selain itu gelombang liberalisasi di semua aspek kehidupan cukup kuat menghantam eksistensi hidup manusia, khususnya kaum muda. Orang – orang muda menyebutkan beberapa ekses negatif yang menunjukan adanya konflik tersebut, antara lain pergaulan bebas yang mengarah pada hubungan seks bebas (Free sex) sebagai akibat gelombang liberalisasi, respek kepada nilai – nilai luhur dan orang yang lebih tua merosot tajam sebagai bentuk konkret adanya pergeseran nilai dalam masyarakat dunia. Muncul pula tindakan – tindakan anarkis seperti perampokan atau penjarahan sebagai imbas dari kesenjangan ekonomi global dan semakin sepinya rumah – rumah ibadat, praktek hidup yang amoral merupakan bukti sebagai terpuruknya agama – agama tradisional dan munculnya agama – agama baru, yang disebut sebagi agama – agama milenium ketiga.
Konflik – konflik yang dialami oleh kaum muda dapat menjadi sebuah kultur yang menjadi daya negatif yang dapat merusak diri kaum muda dan dunia. Paus Yohanes Paulus II merupakan salah satu tokoh terkemuka dalam sejarah yang mengajukan kosakata baru kultur kematian (culture of death). Kultur kematian adalah istilah untuk menamai nama daya-daya negatif yang merusak dunia kita. Kultur kematian sekaligus menunjuk kebisuan manusia di tengah-tengah persoalan-persoalan humanitas yang mempertaruhkan kehidupan umat manusia.
Dalam Evangelium Vitae (1995), Paus menegaskan pengakuan atas nilai suci hidup manusia sejak awal mulai sampai kesudahannya. Kultur kematian itu menampakkan wajah destruktifnya dalam kekerasan, perang dan perdagangan senjata, pembunuhan/kerusakan lingkungan, penyebaran obat bius, eksploitasi seksualitas, dan sebagainya.
Kultur kematian berakar pada distorsi subyektivitas dan kebebasan. Distorsi ini menimbulkan ancaman serius terhadap kehidupan, martabat, dan hak manusia. Orang-orang yang berada dalam posisi lemah dalam masyarakat, rentan sekali mengalami kematian prematur sebab kultur kematian menegasi perlindungan terhadap hidup manusia, pengembangan martabat manusia, dan penghormatan terhadap hak manusia. Kebijakan-kebijakan publik yang dipengaruhi kultur kematian tidak berkiblat pada mereka yang berada pada posisi rentan terhadap ancaman kematian prematur. Solidaritas terhadap mereka yang lemah tidak dibiarkan hidup dalam kultur kematian.
Kultur kehidupan adalah perlawanan terhadap budaya kematian. Perlawanan terhadap kultur kematian merupakan pembelaan terhadap kehidupan. Salah satu fakta paling tragis abad ini adalah bahwa perlawanan terhadap kultur kematian itu baru diserukan segelintir orang atau komunitas. Sebagian besar dari kita masih berperan sebagai penonton yang membiarkan kultur kematian itu memusnahkan kehidupan umat manusia. Sejarah yang dikelilingi kultur kematian akan cepat hancur kalau sebagian besar dari kita sekadar membisu di hadapan persoalan-persoalan kemanusiaan itu.
Pada tataran ini kita boleh berdiri sambil memandang sejarah 80 tahun silam di Republik ini bahwa sekelompok pemuda menunjukkan kepada dunia jati diri mereka dan seluruh rakyat yang mendiami Negara kepulauan yang disebut Indonesia satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa. Keampuhan Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928 perlu diuji kembali berhadapan dengan realitas budaya kematian yang kian merebak dalam diri kaum muda dan masyarakat Indonesia.
Rekonsiliasi Sebagai Solusi (Sebuah Tawaran)
  
Rekonsiliasi merupakan suatu tindakan pemulihan dari keadaan yang memprihatinkan. Rekonsiliasi ini merupakan jawaban atas keprihatinan atas diri kaum muda itu sendiri. Rekonsiliasi menjanjikan harapan baru atas diri kaum muda. Rekonsiliasi ini dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu jalur masuk (ke dalam) dan jalur keluar. Konflik-konflik yang dihadapi oleh kaum muda pada umumnya terjawab dalam bentuk usaha atau ikhtiar rekonsiliasi ke dalam  atau penyembuhan ke dalam (Inner Care). Hal ini mampu diejahwantakan dalam harapan-harapan kaum muda terhadap diri mereka sendiri. Kepada diri sendiri, kaum muda bertekad untuk membangun ketahanan jasmani maupun rohani, membiasakan hidup sehat sambil mengisi bekal rohani dengan menggeluti ajaran keagamaan dalam praksis hidup mereka setiap hari. Inilah sebuah bentuk sederhana tetapi kaya arti dan berdampak positif dari sebuah ikhtiar rekonsiliasi ke dalam. Rekonsiliasi ke dalam tidak akan mungkin berhasil bila tidak didukung oleh adanya ikhtiar rekonsiliasi keluar. Sebab rekonsiliasi sebagai suatu solusi harus dijalankan secara dialogis-komunikatif dan berlandaskan kasih.
Rekonsiliasi keluar lebih pada peran serta orang lain di luar diri kaum muda, tetapi hidup dan berada besama dengan kaum muda. Karena itu rekonsiliasi keluar ini pertama-tama diarahkan kepada orang tua dan masyarakat. Kalangan muda berharap agar para orang tua perlu memberikan perhatian dan kasih sayang yang sehat dalam keluarga, memperhatiakan juga pentingnya pendidikan seks bagi anak-anak sehingga mereka tidak terjerumus pada pemahaman yang keliru yang diterimanya melalui sarana komunikasi di era informasi yang kian transparan ini. Kaum muda juga berharap agar masyarakat selaku kesatuan sosial mempunyai peran sebagai filter (penyaring) dengan melakukan fungsi kontrol sosial (social control). Fungsi kontrol sosial ini penting sebab akan berperan sebagai filter yang mampu menyaring semua pengaruh yang mengalir dari arus informasi yang melejit pesat ketika dunia sedang berada di tengah samudra kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dengan gelombang globalisasinya.
Model pendekatan kepada kaum muda yang ditawarkan adalah model pendekatan kreativitas. Model kreativitas ini tidaklah dilahirkan namun tumbuh dalam proses sehingga ia selalu berkembang. Model pendekatan kreativitas sangatlah tepat untuk kaum muda. Model ini bagaikan bola dalam permainan sepak bola. Ia menggelinding di lapangan. Bergulir dari sudut ke sudut arena permainan, dihempas dari kaki ke kaki, disundul dari kepala ke kepala. Bulat bentuknya dan menjadi rebutan tiap pemain di semua lini lapangan. Kadang, ia menjadi bagai harta milik yang butuh perlindungan tapi tak jarang juga ia menjadi incaran yang harus segera diburu dan direbut. Ia lembut dalam dekapan sang penjaga gawang, sebaliknya amat garang ketika berhasil menjebol jaring-jaring gawang, melambung dari titik penjuru ke kotak penalti. Ia pun liar. Tapi ia mampu mengundang banyak orang untuk bersorak, menjerit, memaki. Ia juga mampu membangkitkan rasa nasionalisme. (Sanggar Talenta, Remaja tentang Hedonisme, hal.1, Kanisius, 1999)
Model pendekatan kreativitas ini mampu menunjukkan bahwa untuk mendekati dan mendampingi kaum muda perlu adanya sikap dan semangat menerima diri kaum muda apa adanya, dalam segala bentuk karakter, sifat dan latar belakangnya. Janganlah kita menolak salah satu dari apa yang ada pada kaum muda. Sebab kaum muda juga manusia yang tidak menghendaki yang buruk dan jahat terjadi atas diri mereka. Kekeliruan (error) dan kejahatan dari hakikatnya tidak merupakan tujuan. Ia hanya bentuk-bentuk dari ketidaktahuan manusia yang dalam epistemologi dikenal dengan nescientia (tidak ada pengetahuan)  dan ignorantia (kurang pengetahuan). Kekeliruan menjadi mungkin bila ada kekurangan kesadaran.
Sudah cukup sampai di sini! Saya mestinya tidak banyak berteori ketika  saya bersama yang lain mesti berbuat sesuatu untuk membungkam kultur kematian. Seperti bayi kecil yang mulai mengeluarkan suara pertamanya, kehidupan itu bersuara lirih dan rentan sekali terhadap penghancuran. Sejarah kemanusiaan tidak dapat dibela dengan kebisuan. Kultur kehidupan adalah perlawanan terhadap budaya kematian. Perlawanan terhadap kultur kematian merupakan pembelaan terhadap kehidupan. Salah satu fakta paling tragis abad ini adalah bahwa perlawanan terhadap kultur kematian itu baru diserukan segelintir orang atau komunitas. Sebagian besar dari kita masih berperan sebagai penonton yang membiarkan kultur kematian itu memusnahkan kehidupan umat manusia. Dalam saat-saat yang paling gelap dunia selalu membutuhkan sahabat yang solider.  Kita semua dapat menjadi ...!***
KEPUSTAKAAN
Andalas, Mutiara, Melawan Kultur Kematian, KOMPAS, 2005.
Catatan Kuliah Epistemologi, 1996.
Ny. Pratiwi Knys, Problem Yang Dihadapi Muda-Mudi, Kanisius, Yogyakarta, 1990.
PIJAR, Majalah Filsafat UGM, Edisi Soempah Pemoeda,  Yogyakarta, 28 Oktober 1997.
Poespowardojo, Soerjanto, ed., Pendidikan Wawasan Kebangsaan, LPSP dan PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1994.
Sanggar Talenta, Remaja tentang Hedonisme, Kanisius, Yogyakarta, 1999.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home